Agnes Theodora, A Ponco Anggoro, dan Riana A Ibrahim
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Mayoritas fraksi di DPR ingin agar pasal-pasal inti dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tetap masuk dalam Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana atau RKUHP. Mereka menganggap hal itu tidak akan melemahkan agenda pemberantasan korupsi seperti dikhawatirkan Komisi Pemberantasan Korupsi.
Fraksi-fraksi itu antara lain PDI-P, Gerindra, Demokrat, Partai Amanat Nasional, Partai Persatuan Pembangunan, dan Nasdem.
Anggota Panitia Kerja RKUHP dari Fraksi PDI-P, Risa Mariska, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (31/5/2018), mengatakan, KPK tidak perlu khawatir karena payung hukum untuk penegakan hukum kasus korupsi yang melibatkan penyelenggara dan pejabat negara tetap mengacu pada UU Pemberantasan Tipikor dan undang-undang lain yang saat ini berlaku.
Sementara yang dimuat dalam RKUHP, ujarnya, hanya pidana inti (core crime) serta pasal tentang korupsi di sektor swasta yang merupakan hasil ratifikasi konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang pemberantasan korupsi atau United Nations Convention Against Corruption (UNCAC).
”KPK tidak usah takut kewenangannya dihilangkan. Toh, sudah ada undang-undang sektoral yang menjadi acuan. Ada UU KPK, ada UU Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Mereka tetap bisa bekerja dengan itu,” kata Risa.
Sebelumnya, KPK menyayangkan sikap pemerintah dan DPR yang tetap memasukkan delik korupsi ke dalam RKUHP. Hal itu dikhawatirkan berdampak pada KPK secara kelembagaan, juga ancaman pidana korupsi yang menjadi lebih ringan.
Wakil Ketua KPK Laode M Syarif mengatakan, pengaturan delik korupsi dalam undang-undang khusus jauh lebih efektif dibandingkan dengan memasukkannya dalam RKUHP, apalagi modus korupsi terus berkembang.
”Ujung semua upaya ini adalah efektivitas penegak hukum. Maka, seharusnya penegak hukum menjadi prioritas,” ujar Laode.
Pengaturan delik korupsi dalam undang-undang khusus jauh lebih efektif dibandingkan dengan memasukkannya dalam RKUHP. Apalagi modus korupsi terus berkembang
Efek jera
Senada dengan Risa, Sekretaris Fraksi Partai Gerindra Desmond J Mahesa juga melihat tidak ada yang perlu dikhawatirkan dengan masuknya delik korupsi ke RKUHP. Soal ancaman pidana yang lebih rendah, dia menilai ancaman pidana yang berat (seperti dalam UU Pemberantasan Tipikor saat ini) tidak berhasil menciptakan efek jera. Korupsi masih sering terjadi, bahkan kini marak di daerah.
”Persoalannya bukan di situ,” katanya.
Sementara itu, mengenai pemidanaan yang belum menjerakan, Ketua Fraksi Partai Nasdem di DPR Johnny G Plate menawarkan opsi pemberlakuan hukuman secara akumulatif untuk residivis korupsi. Seseorang yang melakukan korupsi secara berulang akan mendapat tambahan hukuman lebih berat daripada sebelumnya.
Opsi lain, memberlakukan hukuman alternatif, seperti pencabutan hak politik, pencabutan hak keperdataan untuk memiliki aset melebihi jumlah tertentu atau pemiskinan.
Ketua Panja RUU KUHP DPR dari Fraksi Partai Amanat Nasional Mulfachri Harahap memastikan tidak ada niat dari pemerintah ataupun DPR untuk melemahkan agenda pemberantasan korupsi.
”RKUHP direncanakan menjadi payung bagi seluruh delik pidana. Oleh karena itu, pasal-pasal inti dalam UU Pemberantasan Tipikor perlu masuk dalam RKUHP. Selain itu, dalam peraturan peralihan RKUHP akan ditegaskan bahwa UU Pemberantasan Tipikor tetap memiliki kekhususan dan kewenangan KPK tidak akan berkurang,” katanya.
Namun, berbeda dengan mayoritas fraksi, anggota Panja RKUHP DPR dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa, Muhammad Toha, mengatakan, fraksinya tidak akan memaksakan delik korupsi masuk dalam RKUHP.
”Kami tak punya kepentingan melemahkan agenda pemberantasan korupsi. Kalau banyak suara menuntut agar pasal itu tidak masuk dalam KUHP, ya tidak perlu dimasukkan, didrop saja,” ujarnya.