Karut-marut data penerima Kartu Indonesia Pintar mengundang celah intervensi partai politik. Penyaluran dana program melalui anggota legislatif dipertanyakan.
JAKARTA, KOMPAS — Pendaftaran dan penyaluran penerima Kartu Indonesia Pintar di sejumlah daerah terindikasi melibatkan partai politik dan anggota DPR/DPRD. Keterlibatan mereka dipertanyakan karena berpotensi bias politik dan tidak tepat sasaran.
Koordinator Divisi Investigasi Indonesia Corruption Watch (ICW) Febri Hendri di Jakarta, Kamis (6/6/2018), mengatakan, pihaknya menemukan laporan keterlibatan partai politik (parpol) dalam pendataan dan penyaluran KIP.
Informasi ini dihimpun dari pihak sekolah hingga orangtua dan siswa penerima KIP yang disurvei. Survei tersebut adalah exclussion error (siswa miskin sebagai sasaran yang tidak mendapat KIP) dan inclussion error (siswa mampu yang bukan sasaran mendapat KIP) yang dilakukan ICW bersama mitra peneliti di Kota Yogyakarta, Kota Medan, Kabupaten Blitar, dan Kabupaten Kupang.
Hendri mengatakan, menjelang pemilihan kepala daerah dan pemilu legislatif, ada fenomena pengakuan keberhasilan atau keberpihakan pada rakyat yang dilakukan parpol dengan memanfaatkan program bantuan sosial pemerintah kepada masyarakat seperti KIP. ”Pengusulan nama penerima KIP oleh partai politik, anggota DPR, atau pemangku kepentingan lainnya bertentangan dengan UU Nomor 13 Tahun 2011 tentang Penanganan Fakir Miskin,” kata Febri.
Dari kajian tersebut, di empat daerah yang disurvei ditemukan sekitar 42,9 siswa usia 7-18 tahun dari keluarga miskin tidak terdata sebagai penerima KIP. Sementara dari inclussion error yang masih diolah ditemukan cukup banyak siswa dari keluarga mampu yang justru menerima KIP.
Peneliti Divisi Investigasi ICW Lais Abid mengatakan, keterlibatan parpol ditemukan dari survei yang dilakukan peneliti. Survei ini juga dilakukan dengan mendatangi sekolah dan rumah penerima KIP dan melakukan kelompok diskusi terpumpun.
Contohnya di Yogyakarta, kata Lais, ditemukan keterangan dari pihak sekolah yang menyatakan ada anggota DPR/kader parpol yang meminta data siswa ke sekolah untuk diajukan sebagai penerima KIP.
Menurut Lais, karut-marut pendataan membuka peluang penyimpangan dalam penyaluran KIP. Ditemukan kasus siswa miskin yang jadi sasaran tidak terdata sebagai penerima. Sebaliknya ada anak dari keluarga mampu malah menerima dana KIP.
Rujukan data
Wakil Ketua Komisi X DPR Ferdiansyah mengingatkan agar data KIP merujuk data warga miskin dari Kementerian Sosial. Dalam hal ini, DPR dan BPK perlu dilibatkan sebagai pengawas. ”Perjelas kembali definisi dan kriteria warga miskin. Pemda pun hendaknya proaktif mengurusi warganya,” kata wakil rakyat dari Fraksi Partai Golkar tersebut.
Anggota Komisi X dari Fraksi PDI-P, Esti Wijayati, mengatakan, ditemukan masih banyak siswa tidak mampu yang belum menerima KIP. Karena itu, sekolah mengusulkan dan anggota DPR menyerahkannya ke Kemdikbud. ”Diproses sesuai aturan yang berlaku. Siswa tidak mampu dapat mengakses Program Indonesia Pintar (PIP) berdasarkan data yang diberikan sekolah,” kata Esti.
Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Hamid Muhammad mengatakan, semua usulan KIP di luar basis data terpadu dan yatim piatu harus melalui sekolah yang diinput di data pokok pendidikan (Dapodik). ”Jika tidak terdaftar di Dapodik dan tidak memenuhi kriteria, tidak bisa diproses,” kata Hamid.
Berdasarkan aturan Permendikbud soal PIP, siswa miskin yang tidak terdata sebagai penerima sebenarnya bisa datang ke sekolah/lembaga pendidikan nonformal. Mereka bisa diusulkan langsung oleh sekolah lewat Dapodik untuk mendapatkan KIP. (ELN/NAR)