Pemilih Pemula Berbeda Pendapat tentang Erdogan
Sama-sama berusia 18 tahun, sama-sama masih balita saat Recep Tayyip Erdogan mulai menjadi perdana menteri pada tahun 2003. Namun, pendapat mereka bertolak belakang.
Sena Su Baysal menyatakan tak akan memilih Erdogan pada pilpres hari Minggu (24/6/2018). ”Turki dulunya lebih modern dan negara sekuler,” kata remaja putri yang tinggal di Ankara ini. ”Saya ingin hidup seperti itu.”
Tidak demikian dengan Mehmet Salih Takil. Dia mengatakan, Erdogan adalah idolanya dan dia mengkritik ”Turki di masa lalu”. ”Saya berusia dua tahun ketika Erdogan mulai berkuasa. Keluarga saya bilang, sebelum tahun 2000, hidup susah. Saya tak mau hidup di masa seperti itu,” ucapnya saat mengikuti kampanye Erdogan di Ankara.
Turki dulunya lebih modern dan negara sekuler.
Pemilih pemula di Turki tampaknya diwarnai perbedaan tajam mengenai Erdogan yang kembali maju sebagai kandidat presiden. Sejumlah jajak pendapat menyebut kemungkinan Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP) yang dipimpin Erdogan akan kehilangan mayoritas di parlemen dan pemilihan presiden berpotensi berlangsung dua putaran.
Di mata pendukungnya, Erdogan dianggap berhasil membawa pertumbuhan ekonomi dan mempertahankan Islam dalam kehidupan masyarakat. Sebaliknya, mereka yang tak sepakat mengatakan, pemimpin yang kini berusia 64 tahun tersebut merusak pilar sekularisme Turki yang dulu dibangun oleh Mustafa Kemal Ataturk. Lebih dari itu, Erdogan juga dianggap otoriter.
Sistem pendidikan
Dalam wawancara dengan kantor berita Reuters, remaja yang lahir enam bulan setelah tahun 2000 umumnya sama-sama menyatakan kepedulian terhadap pendidikan dan prospek lapangan kerja.
Arman Tihminlioglu memilih studi di universitas Jerman dengan alasan sistem pendidikan di Turki terus berubah-ubah sehingga membuatnya khawatir. Kurikulum baru yang diberlakukan tahun lalu, misalnya, meniadakan pengajaran Teori Evolusi Darwin. Ujian masuk universitas juga diubah dan dana pendidikan banyak digelontorkan bagi sekolah keagamaan.
”Sistem pendidikan berubah tujuh kali selama saya di bersekolah di sekolah menengah atas. Moral anak-anak muda rendah, tetapi ini merupakan tanggung jawab masyarakat. Pokoknya, kita dipimpin oleh mereka yang kita pilih,” ujar Tihminlioglu.
Sistem pendidikan berubah tujuh kali selama saya di bersekolah di sekolah menengah atas.
Welat Aydin, remaja yang tinggal di desa di Provinsi Mardin, prihatin dengan nasib bahasa Kurdi serta kurangnya sumber daya di sekolah. ”Kami tidak mendapatkan pelajaran dalam bahasa ibu. Kualitas pendidikan rendah. Kalau tak ada guru kimia, guru sastra mengajar kimia. Itu sebabnya, saya tak mendaftar ujian masuk universitas,” keluhnya.
Seorang petani muda di Provinsi Diyarbakir bahkan meninggalkan sekolahnya untuk mencari kerja di Istanbul. Namun, dia tak tahan. ”Saya mendapat 1.500 lira (setara dengan 320 dollar AS) sebulan, yang habis buat membayar sewa rumah, ongkos listrik, air, dan uang habis. Ketika saya sadar tak bisa menabung, saya kembali ke desa,” ucap Demhat Tari. ”Tidak ada pekerjaan, dollar naik, emas mahal. Karena itu, saya tidak akan bisa menikah.”
Cag Buyurgan, calon dokter gigi, mengkritisi kebijakan Erdogan yang dinilainya memecah belah. ”Kalau dia tidak memenangi pemilihan, kita akan bisa kembali menciptakan persatuan yang sudah hilang dan bersama-sama memecahkan problem satu per satu,” ujarnya di Ankara.
Sebaliknya, remaja putri kembar, Sinem dan Simge Tuncbilek, mengatakan, kalau Erdogan menang, segalanya kembali sesuai jalur. ”Kita berdiri bersama. Betul, kita punya masalah, tetapi tidak ada yang tak bisa dipecahkan,” ucap Sinem.
Zeynep Arslan mengakui jasa Erdogan tentang penggunaan penutup kepala, suatu hak yang berhasil diloloskan. Kendati demikian, relawan oposisi Partai Islam Kebahagiaan ini mengatakan, bukan berarti dirinya setuju dengan Erdogan dalam hal kebijakannya, terutama menyangkut Israel.
Terkait hak mengenakan penutup kepala bagi perempuan, hal itu justru menjadi alasan bagi remaja lain untuk tidak mendukung Erdogan. ”Saya tak bisa mengenakan pakaian yang saya suka. Orang Eropa bisa hidup sebagaimana yang mereka inginkan. Di sini, saya tidak sebebas yang saya inginkan. Kami menjadi semakin konservatif. Kami khawatir akan masa depan kami,” tutur Derin Kaleli, remaja putri yang tinggal di Distrik Kadikoy, Istanbul.
Polarisasi tampaknya menguat di kalangan pemilih muda. Kali ini, ada enam kandidat presiden yang maju. Erdogan menurut jajak pendapat masih terkuat. Kita lihat hasilnya nanti. (REUTERS)
Baca juga: Pemilu dan Cairnya Isu Ideologi