Potensi Kecurangan dan Konflik di Jateng Dinilai Rendah
Oleh
PRADIPTA PANDU MUSTIKA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Pemilihan kepala daerah baik gubernur maupun bupati/wali kota di Jawa Tengah dinilai rendah dari potensi kecurangan dan konflik seusai pemungutan suara. Kelancaran kesiapan penyelenggara dan kampanye para pasangan calon kepala daerah yang berjalan baik tanpa munculnya konflik signifikan menjadi indikatornya.
Jawa Tengah merupakan salah satu daerah yang akan menyelenggarakan pilkada serentak pada Rabu (27/6/2018). Pilkada di Jateng tidak hanya memilih gubernur dan wakil gubernur, tetapi juga bupati/wali kota di tujuh daerah yakni Kabupaten Banyumas, Temanggung, Kudus, Karanganyar, Tegal, Magelang, dan Kota Tegal.
Pengamat Politik dari Universitas Diponegoro Semarang Teguh Yuwono menilai, Jateng merupakan salah satu daerah dengan penyelenggaraan pilkada yang paling siap dan rendah dari potensi kecurangan.
“Secara faktual saya kira peta persaingan politik di Jateng termasuk baik sudah cukup dari segi penyelenggaraan maupun tahapan yang dilakukan oleh KPU. Sekarang kita tinggal menunggu respon dari masyarakat dan pemilih,” ujar Teguh saat dihubungi dari Jakarta, Senin (25/6/2018).
Menurut dia, tidak adanya pelanggaran saat kampanye maupun munculnya konflik antarpasangan calon (paslon) yang signifikan merupakan alasan kesiapan Jateng dalam Pilkada serentak ini.
Selain itu, penyelenggaraan pilkada di Jateng juga sudah siap dengan adanya surat suara yang sudah tersedia di sejumlah tempat pemungutan suara (TPS).
Hal lain yang menjadi sorotan dari kesiapan Pilkada di Jateng terlihat saat salah satu calon Bupati dari Kabupaten Tegal yakni Enthus Susmono meninggal dunia pada pertengahan Mei lalu. Kejadian meninggalnya calon Bupati ini kemudian langsung diselesaikan secara cepat oleh pasangan dan penyelenggara sehingga tidak terlalu mengganggu kesiapan Pilkada secara keseluruhan.
Terkait dengan potensi kecurangan dan pelanggaran dalam pilkada seperti politik uang, Teguh menyatakan bahwa hal tersebut tidak akan terjadi secara masif di Jateng. Hal ini karena banyaknya jumlah pemilih di Jateng yang mencapai 27 juta pemilih sehingga pasangan akan membutuhkan dana mencapai triliunan rupiah untuk melakukan politik uang.
“Pasangan calon kepala daerah di Jateng tidak memiliki akses anggaran yang terlalu banyak. Selain itu, pemilih di Jateng juga tidak bisa dengan mudah diimingi uang karena pandangan dan sikap politik mereka sudah cukup kuat dan berpengalaman dalam pemilu,” tutur Teguh.
Teguh menilai, pasangan calon kepala daerah tahu risiko hukum yang menimpa akan sangat besar jika menggunakan politik uang dalam pilkada. Kesadaran tidak menggunakan kecurangan ini bahkan terlihat di beberapa pasangan yang telah membuat Satuan Tugas Politik Uang.
Kebijakan menghadapi pilkada
Kepala Teknis Pengawasan Pemilu Bawaslu Harimurti Wicaksono mengatakan, Bawaslu telah menetapkan tujuh kebijakan dan langkah dalam menghadapi pilkada serentak. Kebijakan dilakukan sebagai upaya mengantisipasi kecurangan dan pelanggaran yang terjadi saat pilkada.
Kebijakan dan langkah tersebut antara lain pemetaan TPS rawan, patroli pengawasan, pengawasan daerah calon tunggal, pengawasan dana kampanye, mengadakan sistem pelaporan online (sislo), mengirimkan surat Bawaslu untuk para pengawas, dan mengadakan agenda international election study programe.
“Pemetaan TPS rawan menjadi menjadi fokus Bawaslu saat hari penghitungan suara. Fokus tersebut berdasarkan pada enam variabel yakni akurasi data pemilih, penggunaan hak pilih, politik uang, netralitas KPPS, pemungutan suara, dan kampanye,” kata Harimurti.
Harimurti mengungkapkan, kebijakan yang dilakukan Bawaslu tidak terlepas dari pelanggaran seperti politik uang dan netralitas aparatur sipil negara yang sering muncul saat pilkada.
Namun, sebagian besar ASN saat ini telah menyadari kewajiban menjaga netralitas dalam pilkada. Para ASN cukup takut untuk mempertaruhkan jabatan dan nasibnya hanya demi melakukan kecurangan maupun ketidaknetralan dalam pilkada.
Calon tunggal
Pada Pilkada 2018, terdapat 16 daerah di Indonesia yang hanya menawarkan kepada pemilih opsi satu pasangan calon dan kotak kosong. Meski demikian, kabupaten/kota di Jateng menjadi daerah yang tidak memiliki calon tunggal dalam pilkada nanti.
Menanggapi hal ini, Teguh berpendapat bahwa adanya calon tunggal dalam pilkada bukanlah suatu kemunduran dari sistem demokrasi di Indonesia. Menurutnya, demokrasi yang dewasa tidak diukur dari seberapa banyak pasangan yang maju dalam pilkada, tetapi dari sistem yang dilakukan dalam meraih suara.
“Pemilu kita sudah dilakukan secara terbuka dan rakyat diberi kesempatan langsung menentukan suaranya, di situlah terdapat proses demokrasi yang sedang berjalan. Masalah calon tunggal menurut saya wajar karena pasangan tersebut dinilai masyarakat memiliki elektabilitas dan kualitas yang bagus sehingga sehingga tidak ada saingan yang berani maju,” ungkap Teguh.