JAKARTA, KOMPAS — Angka kasus kekerasan seksual pada anak di Indonesia masih tinggi. Pelayanan dan penyuluhan pemerintah diharapkan hingga ke daerah-daerah agar pihak keluarga dan korban tahu harus ke mana mengatasi permasalahan itu.
Kasus pemerkosaan yang dihadapi FN (16), siswi SMK di Gunung Putri, Bogor, menunjukkan, trauma yang korban hadapi tidak diadukan kepada pihak yang mampu menaungi masalahnya. FN meninggal pada Selasa pekan lalu dan diduga akibat depresi berat.
Kasus anak yang diadukan ke Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) di bidang anak berhadapan dengan hukum pada 2011-2018 persentasenya paling tinggi, yakni 33 persen. Dalam kasus anak berhadapan dengan hukum, sejak Januari hingga Mei 2018, sebanyak 59 kasus anak sebagai korban kekerasan seksual diadukan ke KPAI.
Komisioner KPAI Bidang Anak Berhadapan dengan Hukum, Putu Elvina, mengatakan, angka tersebut baru kasus yang diadukan ke KPAI. Menurut dia, kasus serupa yang tidak diadukan jumlahnya bisa lebih banyak.
”Fenomena ini seperti gunung es. Angka yang tampak belum menggambarkan keadaan sesungguhnya karena ada kasus yang tidak diadukan ke KPAI,” kata Putu, Rabu (11/7/2018).
Fenomena ini seperti gunung es. Angka yang tampak belum menggambarkan keadaan sesungguhnya karena ada kasus yang tidak diadukan ke KPAI.
Ia menyebutkan, hal tersebut merupakan masalah dari besaran wilayah di Indonesia. Itu membuat pelayanan kasus kekerasan seksual terhadap anak tidak merata hingga ke daerah-daerah terpencil.
Menurut dia, ini merupakan pekerjaan rumah bagi pemerintah. Permasalahannya ada pada anggaran biaya dan sumber daya manusia.
Ia mencontohkan, tidak semua polsek memiliki unit pelayanan perempuan dan anak (PPA) sehingga korban atau keluarga korban harus ke polres. Di daerah-daerah tertentu, hal itu menyulitkan korban untuk mengadukan permasalahannya karena terkendala jarak yang biasanya cukup jauh.
Bungkam
Putu mengatakan, hubungan anak dan keluarga berpengaruh terhadap keterbukaan anak korban kekerasan seksual. Kecenderungan korban kasus kekerasan seksual adalah menjadi silent victim atau korban yang bungkam.
Tidak semua polsek memiliki unit pelayanan perempuan dan anak sehingga korban atau keluarga korban harus ke polres. Di daerah-daerah tertentu, hal itu menyulitkan korban untuk mengadukan permasalahannya karena terkendala jarak yang biasanya cukup jauh.
”Korban biasanya kesulitan membagi penderitaan yang dialami. Faktornya bisa karena takut terhadap ancaman atau malu,” kata Putu.
Dalam keadaan tersebut, korban juga ada dalam dilema. Putu mengatakan, korban akan menderita ketika menceritakan kekerasan seksual yang dialaminya.
Ketika bercerita, artinya korban mengulang kembali keadaan yang ia alami. Hal tersebut, lanjut Putu, membuat korban semakin menderita.
Keluarga
Putu juga mengimbau pihak keluarga sebagai bagian terdekat korban perlu tahu dan peka terhadap setiap perubahan anak.
”Jika terjadi perubahan cara berkomunikasi, keterbukaan diri, dan gestur yang aneh, keluarga perlu mencari tahu sebab dan pertanda apa. Caranya, kekeluargaan yang halus,” ujar Putu.
Jika terjadi perubahan cara berkomunikasi, keterbukaan diri, dan gestur yang aneh, keluarga perlu mencari tahu sebab dan pertanda apa. Caranya, kekeluargaan yang halus.
Hal ini, lanjutnya, penting dilakukan agar keluarga bisa memberikan rasa nyaman kepada anak korban kekerasan seksual. Jalinan komunikasi yang intim dan terbuka bisa membantu anak untuk membagi penderitaannya sehingga masalah yang dialami bisa dicarikan jalan keluar.
Guru Besar Kriminologi Universitas Indonesia Muhammad Mustofa mengatakan, korban kekerasan seksual jangan sampai menjadi korban untuk yang kedua kalinya.
Ia mencontohkan, hak anak untuk mendapatkan pendidikan jangan sampai terganggu karena ia sebagai korban kekerasan seksual. ”Lembaga pendidikan harus bisa menciptakan iklim yang nyaman bagi korban kekerasan seksual,” ucap Mustofa.
Didalami
Kasus FN saat ini sudah dilimpahkan ke Polres Bogor. Dihubungi Kompas, Kepala Subbagian Humas Polres Bogor Ita Puspita Lena menyebutkan, kasus ini ditangani Unit PPA Polres Bogor.
Ia menuturkan, saksi-saksi sedang diperiksa lebih dalam dan polres juga masih menunggu hasil visum. Ita belum bisa mengatakan berapa tersangka yang sudah tertangkap karena masih dalam masa penyidikan.
”Visum diserahkan ke Rumah Sakit Polri Kramatjati. Tersangka yang sudah tertangkap tidak bisa kami publikasikan sekarang. Ditakutkan pelaku yang masih dikejar melarikan diri ke luar kota,” katanya.
Ayah korban, ECP, berharap kasus ini segera selesai. Ia berharap, polisi bertindak cepat sehingga ia tahu penyebab putrinya meninggal. ”Pelakunya diadili sesuai yang diperbuat. Semoga ini kasus terakhir,” kata ECP. (SUCIPTO)