Pemerintah Lambat Menangani Pernikahan Anak Usia Dini
JAKARTA, KOMPAS — Perkawinan anak di bawah umur di Indonesia saat ini dalam kondisi darurat. Hal ini karena hukum tentang perkawinan yang berlaku di Indonesia perlu diperbaiki.
Sementara pemerintah dinilai lamban menangani pernikahan anak usia dini. Komisi VIII DPR tidak melakukan pembahasan apa pun terkait permasalahan ini, bahkan dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas).
Berdasarkan data Unicef tahun 2017, Indonesia menduduki peringkat tujuh dunia terkait perkawinan anak usia dini. Sementara Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) memaparkan bahwa perempuan dalam rentang usia 20 sampai 24 tahun telah menikah sebelum 18 tahun atau sekitar 1.408.000 anak.
Lima provinsi dengan persentase tertinggi perkawinan di bawah usia 18 tahun adalah Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah sebesar 39 persen, Kepulauan Bangka Belitung sebesar 37 persen, Sulawesi Barat sebesar 36 persen, dan Sulawesi Tenggara sebesar 36 persen.
Faktor yang memengaruhi tingginya angka perkawinan anak di bawah umur salah satunya adalah undang-undang yang kontradiktif. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 7 menyatakan memperbolehkan perkawinan untuk anak perempuan dengan batasan umur 16 tahun.
Sementara dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002, yang dimaksud anak-anak adalah sampai umur 18 tahun. Untuk itu, perlu adanya perubahan undang-undang yang mengatur batas umur perkawinan anak perempuan menjadi 19 tahun.
Menurut Komisioner Ombudsman Indonesia Ninik Rahayu Maksoem, jika dibiarkan, persoalan tersebut berpotensi memunculkan mala-administrasi oleh kementerian terkait.
Di samping itu, institusi yang menangani langsung terhadap perubahan undang-undang tersebut dinilai sangat lambat. ”Pemerintahan, termasuk Komisi VIII DPR, lamban untuk upaya perubahan. Kenapa perubahan undang-undang tersebut tidak menjadi Prolegnas prioritas,” ujarnya.
Prosedur standar pelayanan terkait perkawinan usia anak harus segera dilakukan pembenahan, diawali dengan perubahan UU Nomor 1 Tahun 1974.
Selain itu, perkawinan bukan hanya soal hukum, melainkan juga menyangkut kultur di masyarakat karena berimplikasi terhadap kesehatan, gizi, pendidikan, serta kekerasan seksual yang berdampak pada tidak tercapainya Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs).
Ninik juga menyampaikan, bagi masyarakat yang merasa dirugikan dengan perkawinan anak dan merasa ada indikasi mala-administrasi jangan ragu untuk lapor kepada institusi terkait.
”Kalau tidak ada tindak lanjut, silakan lapor ke Ombudsman. Jika terbukti ada mala-administrasi, silakan mengajukan gugatan ganti rugi terhadap negara karena negara terbukti telah mengabaikan hak-hak perlindungan rakyat,” tuturnya.
Hal ini disampaikan karena Ombudsman telah membuka gugatan adjudikasi, yaitu penyelesaian konflik melalui pihak ketiga yang telah ditunjuk oleh pihak yang bersengketa untuk menetapkan suatu keputusan yang bersifat mengikat.
Di samping itu, Sekretaris Jenderal Koalisi Perempuan Indonesia Dian Kartikasari menjelaskan, terkait perubahan UU Nomor 1 Tahun 1974 tersebut ada di kewenangan Kementerian Agama.
”Perkawinan itu dikaitkan dengan agama dan urusan perlindungan anak, ada di Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak,” ujarnya.
Meski Pasal 29 UU tentang Perlindungan Anak mengatur salah satu tanggung jawab orangtua adalah mencegah terjadinya perkawinan usia anak. Faktanya, sebagian besar perkawinan anak terjadi karena kehendak orangtua dengan alasan kemiskinan, pemahaman tafsir agama, ada yang menganggap untuk menghindarkan dari zina, dan pantangan menolak lamaran.
”Soal sanksi, karena ini soal hukum perdata, sulit menempatkan sanksi. Harapannya diberlakukan sanksi sosial. Misalnya, tidak ada kondangan jika mengetahui ada perkawinan anak-anak,” katanya.
Hal di atas disampaikan dalam konferensi pers bertema ”Mewujudkan Anak Genius Membutuhkan Komitmen Negara dan Orangtua”. Acara tersebut dihadiri oleh Sekretaris Jenderal Koalisi Perempuan Indonesia Dian Kartikasari, Maidina dari Institute Criminal Justice for Reform, Zumrotin KS dari Tim Pelaksana Tujuan Pembangunan Berkelanjutan Indonesia, dan Komisioner Ombudsman Indonesia Ninik Rahayu Maksoem.
Upaya yang bisa dilakukan menurut koalisi 18+ antara lain segera menerbitkan kebijakan tingkat nasional untuk mencegah dan menghentikan praktik perkawinan anak dan menaikkan usia minimal perkawinan anak menjadi sekurang-kurangnya 18 tahun.