KPU Diminta Perbaiki Data Jumlah Pemilih Luar Negeri
Oleh
PRADIPTA PANDU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS -- Komisi Pemilihan Umum (KPU) dinilai perlu memiliki dan memperbaharui kembali data jumlah pemilih yang berada di luar negeri. Pemilih di luar negeri dikhawatirkan bisa kehilangan hak politiknya jika pihak-pihak terkait tidak serius data jumlah pemilih khususnya tenaga kerja Indonesia (TKI).
Koordinator Divisi Bantuan Hukum Migrant Care Nur Harsono di Jakarta, Selasa (7/8/2018), menyampaikan, saat ini warga negara Indonesia yang berada di luar negeri khususnya TKI masih menghadapi sejumlah permasalahan yang kompleks untuk memberikan hak suaranya saat pesta demokrasi berlangsung.
"Banyak pekerja migran di luar negeri yang tidak memiliki dokumen seperti KTP-el dan paspor karena majikan tidak memperpanjangnya. Mereka yang mengalami hal demikianlah akan berpotensi kehilangan hak pilihnya," ujar Harsono.
Menurut dia, selain tidak memiliki dokumen yang menunjukan kewarganegaraan Indonesia, pekerja migran tersebut juga terkendala kebijakan dan peraturan yang berbeda di setiap negara. Para TKI yang berprofesi sebagai asisten rumah tangga maupun yang bekerja di perusahaan terkadang tidak mendapatkan kompensasi libur saat hari pemungutan suara. Padahal, TKI tersebut cukup antusias untuk memberikan suaranya.
"Sebenarnya jika dilihat saat Pemilu 2014, antusiasme pekerja migran itu cukup tinggi tergantung dari negara mereka tinggal dan bekerja. Di Hongkong mereka pergi ke TPS dan sekalian berekreasi karena diberikan waktu libur," tutur Harsono.
Akan tetapi, Harsono menjelaskan bahwa kompensasi libur yang diterapkan di Hongkong tidak berlaku pagi TKI yang bekerja di negara timur tengah. Hal ini karena negara tersebut mempunyai sistem dan kebijakan yang tidak dengan mudah memperbolehkan para pekerja migran keluar rumah atau area tempat dia bekerja secara. Kondisi ini membuat TKI sulit memberikan suaranya dalam Pemilu.
Hal lain yang menjadi sorotan menurut Harsono yaitu tidak adanya data yang valid dari KPU maupun pemerintah terkait pemilih di luar negeri, termasuk para TKI.
Oleh karena itu, Harsono menilai, pemerintah dan KPU juga perlu mencermati dan memperbaharui kembali jumlah pemilih yang berada di luar negeri. Para pemilih tersebut dikhawatirkan akan kehilangan hak politiknya jika KPU tidak memperbaharui data jumlah pemilih di luar negeri khususnya data TKI.
"KPU dapat mendorong Kementerian Luar Negeri untuk melakukan kesepakatan bilateral kepada negara-negara penempatan TKI agar mekanisme pemilihan dan hak pilih WNI saat Pemilu dapat dipermudah. Ini juga perlu kebijakan dari Kementerian Ketenagakerjaan dan BNP2TKI terkait agar memberitahu kewajiban dan hak para pekerja migran," ungkap Harsono.
Rancangan peraturan KPU
Terkait hal ini, Komisioner KPU Ilham Saputra menyampaikan, sistem dan mekanisme pemungutan suara di luar negeri akan diatur dalam rancangan Peraturan KPU.
Hal itu disampaikan Ilham saat uji publik rancangan PKPU tentang pemungutan, penghitungan, dan rekapitulasi hasil perolehan suara, Selasa siang. Uji publik tersebut juga dihadiri oleh sejumlah pihak terkait, seperti peneliti, akademisi, pemerintah, hingga partai politik.
Berdasarkan rancangan PKPU Pasal 92 ayat (2), KPU akan menyediakan sejumlah mekanisme maupun tempat untuk pemungutan suara di luar negeri. Para WNI termasuk TKI bisa memberikan hak suaranya di tempat pemungutan suara luar negeri (TPSLN), pemungutan suara dengan menggunakan kotak suara keliling (KSK), dan pemungutan suara melalui pos.
Ketua KPU Arief Budiman menyatakan, masukan yang diterima saat uji publik rancangan PKPU terkait data-data TKI nantinya akan ditindak lanjuti dan dikoordinasikan dengan Kemenlu.
"Sebenarnya data tersebut dihimpun oleh Kemenlu. Jadi data pemilih di luar negeri ditetapkan oleh pokja luar negeri dan data itulah yang nanti dikirim oleh KPU untuk dijadikan satu dengan data pemilih di dalam negeri," katanya.
Areif menambahkan, diadakannya uji publik rancangan PKPU merupakan tahapan yang dilakukan dalam membuat peraturan. Setelah uji publik diadakan, semua catatan dan masukan dari sejumlah pihak akan menjadi bahan pertimbangan perbaikan peraturan tersebut.
"Jika semua tahapan sudah dilaksanakan maka peraturan akan dikirim ke pemerintah dan DPR untuk rapat konsultasi. Setelah itu, jika masih ada yang perlu dirapikan nanti dirapikan. Kemudian peraturan tersebut akan dikirim ke Kemenkumham untuk diundangkan," ujarnya.