JAKARTA, KOMPAS — Konsumsi pangan Indonesia akan terus meningkat secara bertahap. Konsumsi pangan yang meningkat itu antara lain beras, daging unggas dan sapi, serta buah dan sayuran. Untuk itu, kebijakan pangan berbasis produksi untuk meningkatkan suplai pangan diperlukan.
Hal itu mengemuka dalam seminar nasional ”Menelaah Model Konsumsi Pangan Indonesia Masa Depan” yang digelar Badan Pengkajian Pengembangan Perdagangan Kementerian Perdagangan dan Perhimpunan Ekonom Pertanian Indonesia (Perhepi) di Jakarta, Rabu (8/8/2018). Seminar itu memaparkan laporan penelitian ekonom pertanian yang disampaikan kepada Badan Perencana Pembangunan Nasional dan lembaga Program Pangan Dunia PBB (WFP) yang berada di bawah Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) PBB.
Kegiatan yang dibuka Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan Tjahya Widayanti itu antara lain menghadirkan pembicara Ketua Dewan Penasihat Perhepi Bayu Krisnamurthi dan ekonom pertanian dari Universitas Lampung, Bustanul Arifin.
Bustanul mengatakan, permintaan pangan masa depan Indonesia pada 2025 dan 2045 antara lain ditentukan permintaan pangan saat ini, pendapatan, harga, dan urbanisasi. Hasil penelitian itu menunjukkan ada tren peningkatan konsumsi pangan, seperti beras, unggas dan sapi, serta buah dan sayuran.
Konsumsi beras pada 2025 diperkirakan meningkat secara bertahap sebesar 1,5 persen menjadi 99,08 kilogram (kg) per kapita per tahun. Konsumsi unggas dan sapi pada 2025 masing-masing meningkat sebesar 22,1 persen dan 10,3 persen.
”Untuk buah dan sayuran, permintaan tertinggi pada apel. Permintaan konsumsi apel meningkat 55 persen pada 2025 menjadi 1,49 kg per kapita per tahun. Permintaan apel itu didominasi apel impor,” katanya.
Bustanul menambahkan, penelitian itu juga menunjukkan kelompok masyarakat 40 persen ke bawah kekurangan asupan gizi yang bersumber dari energi dan protein. Adapun masyarakat menengah ke atas Indonesia justru kelebihan energi dan protein.
Bayu Krisnamurthi mengemukakan, pola peningkatan konsumsi pangan itu juga disebabkan pergeseran masyarakat desa ke kota. Saat ini, persentase penduduk kota dan desa masing-masing sebesar 53 persen dan 47 persen.
Pada 2025-2030, persentase penduduk kota menjadi 65 persen dan desa 35 persen. Hal itu menunjukkan masyarakat miskin akan bergeser ke kota karena perkembangan ekonomi area baru.
”Apabila lahan pertanian bertambah sedikit dan jumlah petani tidak berubah, produktivitasnya tetap dapat berkurang karena tidak ada regenerasi. Saat ini peralihan sawah setiap tahun sekitar 100.000 hektar, sementara itu permintaan konsumsi pangan ke depan terus meningkat,” ujarnya.
Menurut Bayu, perlu ada upaya-upaya konkret untuk mengatasi risiko ketahanan pangan. Pertama adalah intervensi pada pola konsumsi masyarakat dengan cara mengedukasi masyarakat untuk mengonsumsi makanan segar dan lokal.
Dengan mengonsumsi pangan lokal, minat petani membudidayakan pangan lokal akan semakin meningkat dan berpotensi mengurangi impor pangan. Kedua, intervensi terhadap pasokan pangan berbasis sumber daya lokal perlu dilakukan.
”Salah satunya melalui diversifikasi pangan lokal di daerah-daerah. Dari sisi suplai betul-betul harus memanfaatkan sumber daya alam kita yang semakin terbatas. Yang jadi masalah keterbatasan sumber daya itu adalah produsen atau petani yang jumlahnya semakin berkurang,” katanya.
Bayu juga menyebutkan, konsumsi ke depan tidak hanya menyangkut ketersediaan suplai pangan. Ketersediaan pangan itu juga perlu mempertimbangkan kualitas sumber daya manusia, terutama dalam pemenuhan gizi.
”Ada yang menarik dari hasil penelitian itu, yaitu meningkatnya konsumsi ikan sebesar 11 persen pada 2025. Potensi ikan Indonesia sangat besar dan itu dapat dijadikan pengganti sumber protein selain sapi dan unggas,” ujarnya.