JAKARTA, KOMPAS – Perkawinan anak adalah bencana yang sunyi dan terus mengancam anak-anak perempuan di Tanah Air, bahkan jauh dari tujuan perkawinan untuk kehidupan yang lebih baik dan penuh manfaat (maslahat). Karena itu, menggugah kesadaran secara luas melalui berbagai upaya menuju perubahan melalui riset, kajian, pendampingan, maupun kampanye publik untuk mencegah praktik kawin anak harus harus terus digaungkan.
Gerakan bersama ini harus dilakukan karena fakta dan realitas sosial menunjukkan meskipun Indonesia sudah 71 tahun merdeka, praktik perkawinan anak yang tak kunjung berhenti. Perkawinan anak melanggar hak anak atas kehidupan yang layak, kesempatan tumbuh dan berkembang, serta perlindungan dari kekerasan, pelecehan seksual, dan bentuk-bentuk kekerasan lainnya. Selain itu, perkawinan anak melanggar partisipasi anak dalam menyampaikan pendapat dan memilih jenis pendidikan yang sesuai dengan pendidikan dan bakat.
Demikian harapan dan rekomendasi dari Seminar Nasional “Menyelesaikan Ambiguitas Hukum Perkawinan Anak” di Auditorium Djokoseotono, Kampus Fakultas Hukum (FH) Universitas Indonesia (UI), Depok, Jawa Barat, Senin (13/8/2018). Seminar digelar Jaringan AKSI Inklusif dan Inspiratif untuk Remaja Perempuan bekerja sama dengan Lembaga Kajian Hukum, Masyarakat, dan Pembangunan FH UI, Program Studi Kajian Gender- Sekolah Kajian Stratejik dan Global (PSKG-SKSG), dan Pusat Kajian Gender dan Seksualitas FISIP UI.
Seminar yang membedah letak ambiguitas hukum dari praktik perkawinan anak serta argumentasi ideologis keagamaan dalam praktik perkawinan anak ini menghadirkan narasumber Lies Marcoes (Direktur Rumah Kita Bersama/Rumah KitaB), Sulistyowati Irianto (Ketua Lembaga Lembaga Kajian Hukum, Masyarakat dan Pembangunan FH UI), Achmad Hilmi (Program dan Advokasi Manager Yayasan Rumah KitaB-Jaringan AKSI), Nur Rofiah (dosen Pascasarjana Perguruan Tinggi Alquran Jakarta/Kongres Ulama Perempuan Indonesia/KUPI), dan Khaerul Umam Noer (dosen di PSKG-SKSG UI).
Pada seminar tersebut, Sulistyowati menyampaikan implementasi hukum nasional dan pandangan sosial budaya dalam isu perkawinan anak, dan Khaerul Umam Noer memaparkan data dan fakta praktik perkawinan anak di Indonesia. Sedangkan Nur Rofiah menyampaikan pandangan ulama perempuan terhadap praktik perkawinan anak dan Achmad Hilmi memaparkan referensi Islam untuk prinsip perlindungan anak berdasarkan Maqashid As Syariah.
Adapun Lies Marcoes sebagai pembicara kunci mengungkapkan perkawinan anak adalah jejak paling kuno dalam agenda perjuangan gerakan perempuan Indonesia sepanjang masa, sejak RA Kartini memulai kesetaraan pendidikan, agenda politik Kongres Perempuan Indonesia tahun 1928, agenda politik pemilu 1955, hingga UU 1/1974 dan Wajib Belajar 12 Tahun. “Praktik ini seolah tak terkait dengan modernisasi dan capaian pembangunan. Semakin modern masyarakat makin tinggi praktik perkawinan anak,” kata Lies.
Sulistyowati mengungkapkan, hukum nasional masih bermasalah. Bahkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan justru mengesahkan terjadinya perkawinan anak. Kendati demikian, menurut Sulistyowati, masalah dengan perkawinan anak tidak semata-mata terletak pada masalah hukum, tetapi juga terkait hukum adat atau hukum agama, yang menempatkan anak-anak perempuan dalam bahaya dengan pernikahan mereka di bawah umur.
Karena itu, selain menetapkan usia minimum perkawinan, literasi hukum untuk meningkatkan kesadaran dan tingkat kepatuhan masyarakat untuk mencegah pernikahan anak perlu ditingkatkan. “Kita harus membuat orang melek hukum, karena kalau tidak melek hukum mereka bisa dibodoh-bodohi,” ujar Sulistyowati.
Kesadaran tentang kemanusiaan perempuan
Nur Rofiah mengungkapkan kemashalatan sebenarnya jantung dari agama. Misi utama agama adalah mewujudkan kemaslahatan di muka bumi termasuk dalam keluarga.
Nur menyatakan ada tiga kesadaraan tentang kemanusiaan perempuan, yakni level terendah yang memandang manusia hanya laki-laki, perempuan bukan manusia. Memperlakukan perempuan secara tidak manusiawi sesuatu yang wajar, misalnya menjodohkan anak sejak masih di kandungan atau memaksa anak untuk kawin.
Ada juga level menengah yang menilai perempuan sebagai manusia, tetapi menggunakan standar laki-laki. Pada level ini, pengalaman khas perempuan yang tidak dimiliki laki-laki belum dianggap sebagai problem kemanusiaan, tetapi problem perempuan.
“Cara berpikirnya, kalau bijak bagi laki-laki pasti bijak bagi perempuan. Dalam agama kemaslahatan bagi laki-laki pasti maslahat bagi perempuan. Perkawinan anak dianggap maslahat karena bagi laki-laki maslahat walaupun mungkin bagi perempuan itu berbahaya,” katanya.
Sedangkan dalam level kesadaran tertinggi, perempuan dan laki-laki dipandang sama-sama manusia, standar kemanusiaan yang sama, sambil perhatikan kondisi khas perempuan biologis maupun sosial. Adapun kondisi biologis perempuan yang tidak dimiliki laki-laki adalah menstruasi, hamil, melahirkan, nifas, dan menyusui. Kondisi sosial khas perempuan terjadi karena adanya relasi jender yang timpang sehingga perempuan mengalami ketidakadilan, misalnya marginalisasi.
“Dalam konteks perkawinan anak tidak dimintai ijin atau dipaksa menikah. Artinya orang yang mau berhubungan seksual dengan anak itu, menggunakan tubuhnya dia sendiri tidak dimintai ijin. Dalam perkawinan suami ceraikan sepihak, dan lain-lain,” kata Nur.
Hilmi mengakui, salah satu penyebab perkawinan anak adalah masih kuatnya tradisi pemahaman yang berbasis agama. Banyak orangtua merasa telah membesarkan anak lalu merasa anak menjadi milik mereka, dan berhak menentukan nasib anaknya.
Masih dianggap mitos
Khaerul Umam dalam paparannya memulai dengan pertanyaan, ketika bicara tentang perkawinan anak sering kali orang mempertanyakan apakah itu mitos atau fakta. Hal itu menjadi alasan pembenar untuk meligitimasi perkawinan anak pada dasarnya adalah mitos. Tidak hanya itu, sering ada pertanyaan tentang data dan angka perkawinan anak dari mana.
Misalnya, soal angka prevalensi perkawinan usia anak di Indonesia yang selama ini dinilai sangat rendah dan hanya terjadi di perdesaan. Padahal menurut Khaerul dari laporan Badan Pusat Statistik dan berbagai penelitian yang dirangkum, jelas ada data dan angka tentang perkawinan anak.
Faktanya, menurut BPS, prevalensi perkawinan usia anak di Indonesia pada tahun 2015 sebesar 23 persen. Artinya satu dari lima perempuan pernah kawin usia 20-24 tahun melakukan perkawinan pertama sebelum usia 18 tahun.
Begitu juga perkawinan anak terjadi di perdesaan dan perkotaan hampir sama. Tahun 2015, angka perkawinan usia anak di daerah perdesaan hampir sepertiga lebih tinggi dibandingkan di daerah perkotaan (masing-masing 27,11 persen dan 17,09 persen), namun pada tahun 2013 dan 2015 penurunan yang dicapai tidak jauh berbeda antara perdesaan dan perkotaan.
Ia juga memaparkan data-data tingkat perceraian pada perempuan usia 20-24 tahun yang menikah sebelum usia 18 tahun cenderung meningkat pada periode 2013 dan 2015.
Seminar tersebut diwarnai dengan pembacaan Narasi Kesaksian Pengantin Bocah oleh Evie Permatasari dari Jaringan AKSI Inklusif dan Inspiratif untuk Remaja Perempuan. Evie membacakan kisah Tita (12), seorang ibu yang mengurus dua anak suaminya dari istri sebelumnya, dan kisah Ira (14) dari sebuah desa di Bogor, Jabar, korban perkawinan anak yang meninggal setelah melahirkan anak kedua.
Pada akhir seminar, peserta dihibur kelompok musik Sister in Danger, yang selama ini aktif mengampanyekan stop perkawinan anak lewat musik dan lagu.