Kalimat-kalimat berikut tampaknya sudah dianggap lazim oleh reporter: “Air pasang menerjang warung-warung di pantai Parangtritis”; “Pelatih Persija David Beckham memainkan Adul Kece di laga melawan Barcelona”; “Rival Ferrari buatan Bekasi bakal mengaspal di Rusia”; “Sukses membawa Timnas ke Piala Dunia, Adul Kece ditawari merumput di markas Manchester United.”
Sepintas lalu kata kerja yang digunakan dalam kalimat-kalimat di atas: menerjang, memainkan, mengaspal, dan merumput tampaknya sudah benar. Apalagi, semuanya dapat kita temukan setiap hari. Seberapa tepat pemilihan kata kerja itu? Demi disiplin logika, mari kita kupas satu per satu.
Logiskah menjelaskan air pasang yang modus gerakannya vertikal, naik secara berangsur-angsur, dan bukan horizontal disertai arus yang kuat, dengan sebutan menerjang? Betul, bangunan bisa roboh oleh air pasang, tapi bukan karena diterjang dari depan, belakang, atau dari sisi kanan atau kiri. Bangunan bisa rontok jika fondasinya terus digoyang-goyang genangan air yang meninggi.
Ada beberapa sebutan untuk banjir, antara lain menggenangi, merendam. Demi diksi yang tepat, penulis perlu menelaah kejadiannya. Apakah itu sebatas genangan, atau mengalir deras sehingga dapat disebut menerjang kawasan sampai porak-poranda. Sebutan yang lazim digunakan adalah melanda. “Banjir melanda kota: sebuah rumah roboh.” Sinonim untuk melanda di kamus adalah mengenai, menimpa, melanggar, tetapi tak ada menerjang yang menyiratkan kecepatan dan daya gempur tinggi. Sebutan menerjang lebih tepat digunakan untuk gerakan horizontal yang dahsyat seperti tsunami, kendaraan yang lepas kendali, angin puting beliung, tendangan maut pendekar.
Wartawan olahraga tempo dulu sudah pas memakai sebutan menurunkan untuk atlet sepak bola yang dipilih pelatih dalam laga, misalnya: “David Beckham menurunkan Adul Kece, penyerang andalan Persija, dalam laga melawan Barcelona.” Di sini, menurunkan adalah tindakan selektif subyek (Beckham) atas obyek (Adul Kece). Lain halnya pada kalimat “Kedua pecatur memainkan bidak mereka” atau “Sang aktor senang memainkan peran antagonis.” Dalam kedua kalimat itu, kedua pecatur tidak berada dalam situasi memilih untuk memainkan bidak atau benda lain; juga sang aktor tidak dalam situasi memilih peran. Bahkan secara ekstrinsik, kata kerja memainkan pada kalimat “David Beckham memainkan Adul Kece di laga melawan Barcelona” berimplikasi mengeliminasi kemanusiaan Adul Kece, tak ubahnya bidak yang pasif, tanpa potensi individual.
Sebutan yang mungkin membuat orang asing yang belajar bahasa Indonesia pusing tujuh keliling adalah mengaspal. Dalam konstruksi sintaksis yang logis, mengaspal digunakan untuk kegiatan melapisi jalan dengan zat bernama aspal. Sekarang reporter secara serampangan menulis “Mobil listrik siap mengaspal di Jakarta.” Bahasa sukar bertahan kalau penuturnya berlebihan menganut ortodoksi, tetapi berisiko kehilangan potensi filosofisnya apabila aspek logika diabaikan. Potensi filosofis bahasa mutlak diperlukan supaya unggul sebagai bahasa sains, bisnis, dan lain-lain.
Terakhir: apakah Jakmania dan para pencinta sepak bola kita rela Adul Kece disebut merumput? Bisa ya, bisa tidak, tergantung bagaimana mereka memaknai kata merumput. Mungkin tidak ada yang keberatan bintang Piala Dunia kita oleh reporter diperlakukan bagai sapi di “kandang” MU, karena generasi masa kini tak begitu peduli dulu kata merumput dikhususkan untuk konteks apa.
Kurnia JR, Pujangga