BKN mengungkapkan 307 ASN terpidana korupsi yang belum juga diberhentikan oleh Pejabat Pembina Kepegawaian. Tindakan ini diduga melanggar hukum dan merugikan negara karena ASN itu masih menerima gaji.
JAKARTA, KOMPAS - Aparatur sipil negara terpidana korupsi yang masih bekerja harus segera diberhentikan agar tidak memunculkan kerugian negara yang lebih besar. Mereka yang terbukti masih menerima gaji, wajib mengembalikannya ke kas negara.
Anggota Tim Independen Reformasi Birokrasi Nasional, Siti Zuhro, mengatakan, ASN terpidana korupsi yang masih bekerja tidak berhak mendapatkan gaji atau tunjangan karena telah diberhentikan secara tidak hormat setelah putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap (inkracht) keluar. Pimpinan instansi terkait atau Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK) harus segera mengeluarkan surat pemberhentian terhadap ASN terpidana korupsi agar hak-haknya diputus.
"Kalau ASN itu masih menerima gaji, dia harus menggantinya. Itu bukan menjadi haknya lagi. Pimpinan di atas (ASN) itu juga harus ikut bertanggung jawab karena dia yang membimbing. Jadi tidak boleh ada pembiaran, apalagi terkesan melindungi ASN," ujar Siti di Jakarta, Senin (27/8/2018).
Kalau ASN itu masih menerima gaji, dia harus menggantinya. Itu bukan menjadi haknya lagi. Pimpinan di atas (ASN) itu juga harus ikut bertanggung jawab karena dia yang membimbing. Jadi tidak boleh ada pembiaran, apalagi terkesan melindungi ASN
Sebelumnya, Badan Kepegawaian Negara (BKN) mengungkapkan ada 307 ASN terpidana korupsi yang belum dipecat berdasarkan laporan 14 Kantor Regional BKN di seluruh Indonesia. Terhadap ASN itu, BKN hanya bisa membekukan proses promosi jabatan melalui Sistem Aplikasi Pelayanan Kepegawaian (SAPK). Namun, BKN tidak berdaya untuk memutus pembayaran remunerasi ASN terpidana korupsi tersebut.
Siti menjelaskan, proses pemutusan gaji ASN memang terlalu berbelit-belit karena harus melewati tiga kementerian terkait, yakni Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, serta Kementerian Keuangan. Hal ini membuat koordinasi antarkementerian dibutuhkan agar proses pemutusan gaji ASN terpidana korupsi berjalan cepat.
"Birokrasi itu kekhasannya berbelit-belit setiap tahapannya. Kementerian terkait harus ikut bertanggung jawab mendorong agar proses hukum itu segera dilaksanakan," katanya.
Persoalan masih banyaknya ASN terpidana korupsi yang belum diberhentikan sehingga masih menerima gaji sudah menjadi perhatian pemerintah pusat. Deputi Bidang Reformasi Birokrasi Akuntabilitas Aparatur dan Pengawasan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Muhammad Yusuf Ateh menuturkan, sebenarnya BKN bisa secara tegas memberikan surat pemberhentian ASN kepada organisasi tempat ASN bekerja. "Atas dasar itu (surat BKN), gaji bisa langsung diberhentikan," ujarnya.
Secara terpisah, Deputi Pencegahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Pahala Nainggolan menuturkan, perlu pembenahan sistem, yakni pengintegrasian antara putusan pengadilan, SAPK di BKN, dan Kemenkeu dalam pemutusan gaji. Menurut Pahala, pembayaran gaji terhadap ASN terpidana korupsi yang telah berkekuatan hukum tetap berdampak pada kerugian negara.
Salinan putusan
Kepala Biro Hubungan Masyarakat Badan Kepegawaian Negara (BKN) Mohammad Ridwan menambahkan, BKN sulit menjatuhkan sanksi tegas karena salinan putusan pengadilan belum mencantumkan Nomor Identitas Pegawai Negeri Sipil (NIP) ASN terpidana korupsi.
"Salinan putusan biasanya disampaikan ke PPK setempat oleh panitera pengadilan. Kami ingin tembusannya juga ke BKN, Kemenkeu, dan Kemendagri," ujarnya.
Terhadap hal ini, Juru Bicara Mahkamah Agung Suhadi mengatakan, pencantuman NIP di salinan putusan harus diatur dalam peraturan pemerintah karena harus dilaksanakan sejak proses penyidikan oleh penegak hukum.
"Identitas sudah ada dalam KUHAP dari penyidikan, penuntutan, sampai putusan pengadilan kalau ada penambahan seperti itu, haru ada peraturan pemerintah. Kayak tambahan KUHAP," ujarnya. (