Kiranya tidak ada diksi yang lebih pas untuk menggambarkan nasib petani tebu dan petambak garam pada panen tahun ini selain tragis. Hasil panen tidak terserap atau harganya anjlok. Sementara impor komoditas serupa justru bertambah di tengah defisit neraca perdagangan yang terjerembab semakin dalam. Inilah ironi pangan kita.
Para petambak garam melaporkan anjloknya harga jual dua bulan terakhir. Di Mundu, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, harga di tingkat petambak anjlok dari Rp 1.300 per kilogram (kg) pada Mei menjadi Rp 800 per kg pekan lalu. Sementara di Madura, Jawa Timur, harga garam petani anjlok dari Rp 2.700 per kg pada Juni menjadi Rp 1.000-Rp 1.600 per kg pertengahan Agustus 2018.
Sukacita panen karena cuaca baik tahun ini terkubur oleh realitas anjloknya harga jual. Rupanya, kekhawatiran pada awal tahun ini benar terjadi. Ketika pada rapat koordinasi 19 Januari 2018 pemerintah memutuskan kuota impor garam industri sebesar 3,7 juta ton tahun ini, naik dibandingkan tahun lalu yang 2,2 juta ton, para petambak garam spontan meneriakkan kecemasan akan potensi anjloknya harga jual garam lokal dan merembesnya garam industri.
Nasib petani tebu tidak lebih baik. Asosiasi petani melaporkan kecenderungan turunnya harga jual gula petani dari Rp 12.000 per kg tahun 2016 menjadi Rp 9.750 per kg tahun 2017, dan kini berkisar Rp 9.200-9.300 per kg. Sebagian gula petani bahkan belum terserap karena pasar dituding telah ”banjir” gula. Selain dugaan rembesan gula rafinasi, harga di tingkat petani tertekan oleh ketentuan harga eceran tertinggi.
Peningkatan kebutuhan bahan baku oleh industri makanan minuman memang tak bisa kita pungkiri. Namun, pengalaman masa lalu kerap mengulang kisah tentang para pemburu rente. Mereka bersembunyi di balik frasa ”kebutuhan industri” atau alasan produksi dalam negeri tidak cukup jumlah dan mutu. Pertanyaannya, apa betul kita tidak bisa mengejar syarat kualitas dan kuantitas itu? Selama puluhan tahun?
Kisah terdesaknya lumbu kuning, lumbu hijau, tawang mangu, ciwidey, sanggah, dan sembalun oleh bawang putih impor bisa menjadi cermin. Varietas-varietas itu tersingkir bukan karena petani tak mampu membudidayakannya atau memproduksi bawang putih dalam jumlah dan mutu sesuai kebutuhan pasar. Produksi dalam negeri justru hancur oleh kebijakan impor yang tak terkendali.
Pengalaman di masa lalu kerap mengulang kisah tentang para pemburu rente.
Nasib kedelai nyaris sama. Produksi lokal hancur karena kedelai impor terus menggempur, sedangkan program dan target swasembada belum menunjukkan hasil. Volume impornya justru cenderung naik meski kedelai jadi salah satu komoditas prioritas garapan Kementerian Pertanian, selain padi dan jagung beberapa tahun terakhir.
Cerita jatuh bangunnya komoditas pertanian sulit lepas dari tren dan fluktuasi harga di pasar. Maka, percuma pemerintah menggenjot anggaran pertanian hingga triliunan rupiah per tahun jika petani tidak mendapatkan harga yang layak dan kesejahteraannya tidak terangkat.
Harga anjlok saat panen raya memang kisah yang klasik. Namun, anjloknya harga di tengah lonjakan impor dan usaha menekan defisit perdagangan tentu sulit dipahami. Sama sulitnya memahami lonjakan impor beras di tengah klaim surplus bertahun-tahun. Produksinya bahkan tak cukup berdaya di pasar dan bikin pemerintah gusar.
Ketika problem berulang, kiranya layak berefleksi, sudah tepatkah kebijakan pangan kita? Apakah petani semakin sejahtera? Jika belum bisa swasembada, setidaknya langkah pemerintah tidak justru menyingkirkan petani dan membabat kebun yang sudah ada.