Upayakan Konversi Devisa Ekspor
JAKARTA, KOMPAS--Rupiah jatuh semakin dalam. Selain sentimen dari kondisi eksternal sebagai faktor utama, faktor dalam negeri ikut memengaruhi.
Saat ini, masih banyak pelaku usaha yang menahan dan tidak mau menjual dollar AS. Di sisi lain, banyak juga pelaku usaha yang mencari dan membeli dollar AS untuk membayar impor.
Pemerintah perlu terus mendekati pelaku usaha, sambil mengupayakan agar devisa hasil ekspor bisa bertahan lama di dalam negeri atau dikonversi menjadi rupiah.
Berdasarkan kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate, Selasa (4/9/2018), rupiah di level Rp 14.840 per dollar AS. Berdasarkan data di laman Bloomberg, Selasa malam, rupiah diperdagangkan di pasar tunai pada kisaran Rp 14.780-Rp 14.938 per dollar AS.
Bank-bank di dalam negeri juga mulai memasang harga tinggi untuk jual dan beli valuta asing, terutama dollar AS, di rentang Rp 14.930-Rp 15.200 per dollar AS. Padahal harga antarbank di bawah Rp 14.900 per dollar AS.
“Hal itu menyebabkan eksportir menunda untuk mengonversi dollar AS ke rupiah. Pasokan dollar AS berkurang, di sisi lain kebutuhan dollar AS meningkat untuk kebutuhan impor dan stabilisasi nilai tukar rupiah,” kata ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira Adhinegara.
Indonesia, tambah Bhima, saat ini membutuhkan tambahan cadangan devisa. Jika persoalannya berupa jumlah devisa hasil ekspor yang dikonversi ke rupiah sedikit, maka jalan paling singkat yang bisa ditempuh adalah membuat regulasi.
Presiden bisa menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang untuk merevisi UU Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa. Revisi UU itu menambahkan kewajiban devisa hasil ekspor ditahan di bank domestik. Pilihannya, bisa 12 bulan atau 6-9 bulan.
“Per Juni 2018, devisa hasil ekspor yang dihasilkan 69,88 miliar dollar AS. Dari jumlah itu, yang masuk ke perbankan domestik 64,74 miliar dollar AS atau sekitar 92,6 persen. Namun, itu hanya pencatatan dan tidak tinggal lama di bank. Dari jumlah itu, yang dikonversi ke rupiah hanya 8,62 miliar dollar AS atau 13,3 persen,” ujarnya.
Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik Universitas Gadjah Mada Yogyakarta A Tony Prasetiantono mengatakan, pelaku usaha di dalam negeri terlalu khawatir berlebihan. Krisis di Venezuela, Turki, dan Argentina sepertinya begitu mencekam pengusaha dalam negeri, padahal situasinya berbeda dengan saat krisis keuangan Asia pada 1998.
Rupiah melemah, namun dari Rp 13.700 per dollar AS pada 2017 menjadi Rp 14.800 per dollar AS pada saat ini. Pada saat krisis 1998, rupiah terjun dari Rp 2.300 (Oktober 1997) menjadi Rp 15.000 (Januari 1998). Pada 1998, Indonesia hanya memiliki cadangan devisa 23 miliar dollar AS, sedangkan per Juli 2018 sebesar 118 miliar dollar AS.
“Mereka trauma dengan krisis 1998, membandingkan kurs sekarang mirip 1998. Padahal sebenarnya fundamennya berbeda. Fundamen Indonesia saat ini lebih kuat ketimbang dulu. Ini tugas menteri keuangan dan Presiden untuk meyakinkan pelaku usaha,” kata dia.
- Pemerintah mesti bergerak cepat https://kompas.id/baca/utama/2018/09/04/pemerintah-mesti-bergerak-cepat/
Tony menambahkan, Presiden dan menteri keuangan harus mengajak pengusaha berbicara dari hati ke hati sambil menunjukkan data ekonomi terbaru Indonesia. Namun, Presiden juga harus meyakinkan pasar bahwa pemerintah segera melakukan “menginjak pedal rem” dalam rangka menghemat devisa dan mengurangi defisit transkasi berjalan menjadi di bawah 3 persen produk domestik bruto (PDB).
Berdasarkan Neraca Pembayaran Indonesia yang dirilis Bank Indonesia, defisit transaksi berjalan triwulan II-2018 sebesar 8 miliar dollar AS atau 3 persen PDB. Defisit transaksi berjalan secara triwulanan terjadi sejak triwulan IV-2011, sedangkan secara tahunan terjadi sejak 2012.
Neraca perdagangan Indonesia Januari-Juli 2018 defisit 3,09 miliar dollar AS. Pada Januari-Juli 2017, neraca perdagangan surplus 7,387 miliar dollar AS.
Simpan di Indonesia
Selasa pagi, Presiden Joko Widodo rapat tertutup dengan sejumlah menteri dan kepala lembaga. Rapat antara lain membahas nilai tukar rupiah yang merosot terhadap dollar AS.
“Intinya, kita mengurangi defisit perdagangan dengan cara meningkatkan ekspor dan mengurangi impor yang tidak perlu. Detailnya akan dibicarakan dengan Menteri Keuangan, Gubernur BI, dan Menteri Perdagangan” tutur Wakil Presiden Jusuf Kalla di kantor Wapres.
Wapres menambahkan, impor barang-barang mewah sebaiknya dikurangi dulu. Kendati nilainya dalam neraca perdagangan tidak besar, namun masyarakat perlu diyakinkan untuk berhemat.
Kesadaran pengusaha untuk membela Tanah Airnya juga disentuh. Ekportir diminta menyimpan uangnya di Indonesia, bukan di Singapura, Hongkong, atau negara lain. “Jangan sampai duitnya tidak masuk ke dalam negeri sehingga memperkuat Singapura, Hongkong, namun melemahkan Indonesia,” ujar Kalla.
Dalam kesempatan terpisah, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyampaikan, pemerintah segera menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur impor barang konsumsi.
"Kami tetap menjaga sektor usaha yang membutuhkan bahan baku dan barang modal," kata Sri Mulyani di Jakarta, Selasa.
Sri Mulyani menambahkan, pihaknya bersama Menteri Perdagangan dan Menteri Perindustrian telah menyisir 900 komoditas yang selama ini diimpor, namun tidak banyak memberi nilai tambah terhadap perekonomian Indonesia. Komoditas itu merupakan barang konsumsi yang bersifat tersier.
Sementara itu, Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasution tengah membuat matriks komoditas yang ekspornya bisa ditingkatkan. (HEN/INA/DIM/LAS)