JAKARTA, KOMPAS - Pidana penjara dinilai tak mampu lagi memberikan efek gentar untuk para terpidana korupsi. Sejumlah terpidana bahkan terlibat praktik korupsi kembali dengan menyuap pejabat lembaga pemasyarakatan tempat mereka menjalani masa pidana.
Hal itu terjadi karena aset para terpidana korupsi belum semuanya tersentuh. Terkait dengan hal ini, gagasan untuk memiskinkan pelaku korupsi didorong untuk diwujudkan.
Juru Bicara Komisi Pemberantasan Korupsi Febri Diansyah, di Gedung KPK, Jakarta, Rabu (5/9/2018), menyampaikan, pemulihan aset serta penjatuhan hukuman uang pengganti juga menjadi tujuan dari pemidanaan terhadap pelaku korupsi.
”Disetorkannya uang pengganti dan rampasan ke kas negara diharapkan menjadi pesan bahwa uang yang pernah dicuri oleh para pelaku korupsi harus kembali kepada negara dan digunakan untuk kepentingan masyarakat,” ujar Febri.
Pada Agustus 2018, Unit Pengelolaan Barang Bukti dan Eksekusi KPK telah menyetorkan uang senilai Rp 11,5 miliar, 450.000 dollar Amerika Serikat, dan 63.000 dollar Singapura ke kas negara. Uang tersebut berasal dari uang pengganti, rampasan, dan denda berdasar salinan putusan dalam sejumlah perkara.
Uang itu antara lain merupakan uang rampasan negara dari perkara suap Direktur Jenderal Perhubungan Laut Kementerian Perhubungan Antonius Tonny Budiono sebesar
Rp 9,97 miliar serta uang rampasan negara milik mantan Ketua Pengadilan Tinggi Manado Sudiwardono, yaitu Rp 556,4 juta dan 63.000 dollar Singapura.
Selain itu, ada pula uang pengganti dalam perkara korupsi pengadaan kartu tanda penduduk elektronik, yaitu Anang Sugiana Sudihardjo sebesar Rp 500 juta serta Sugiharto sebesar Rp 460 juta dan 450.000 dollar AS. Ada juga denda yang dibayarkan oleh terpidana perkara suap Donny Witono sebesar Rp 50 juta.
Pada Juni 2018, KPK juga menyetorkan uang senilai Rp 221 miliar yang merupakan uang pengganti, rampasan, dan denda dari Antonius Tonny, Sugiharto, dan Irman.
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Lalola Easter Kaban, menyampaikan, bentuk pidana tambahan berupa uang pengganti perlu dimaksimalkan mengingat rata-rata vonis kasus korupsi masih rendah.
”Kejaksaan dan KPK perlu memaksimalkannya. Jika memang tidak seluruh kerugian keuangan negara dinikmati oleh terdakwa, harus ada penghitungan yang jelas mengenai aliran dana tersebut. Penggunaan TPPU (tindak pidana pencucian uang) semakin relevan agar tidak ada sepeser pun uang negara yang tidak berhasil dikembalikan,” tutur Lalola.
Mantan Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan Yunus Husein berpendapat senada. Menurut dia, hukuman penjara tak mempan untuk pelaku korupsi karena mereka jauh lebih khawatir kehilangan aset yang telah dikumpulkan yang kerap kali dilakukan secara tidak wajar.