Pernah diberitakan di koran ini, dulu, ada krisis kelangkaan pupuk. Diduga kelangkaan itu akibat ulah penyalur yang menimbun pupuk itu di gudangnya untuk memainkan harga dan mengeruk untung. Karena jengkel dan penasaran, sekelompok petani di Rembang menyidak gudang milik seorang pengusaha penyalur pupuk dan ternyata bahwa gudang itu penuh dengan ribuan zak pupuk. Namun, si pemilik gudang berkilah bahwa pupuk itu bukan miliknya. Maka, kelompok petani itu menjarah-rayah berkantung-kantung pupuk tersebut. Mereka beralasan kalau pupuk itu tersimpan di gudang dan pemilik gudang tak mengakui bahwa pupuk itu miliknya, maka pupuk itu bukan milik siapa-siapa. Jadi tak ada salah kelompok petani itu memanfaatkan pupuk itu untuk menyuburkan sawah mereka.
Konon, dulu, di daerah Sedulur Sikep seorang penduduk desa menyapa temannya yang berjalan lewat di depan rumahnya: "Dari mana?" Jawabannya: "Dari belakang." Tanyaannya lagi: "Mau ke mana?" Jawabannya: "Ke depan."
Saya tak tahu kapan sapaan dan jawaban itu terjadi. Barangkali di zaman mBah Samin Surosentiko. Mungkin juga cerita tegur-sapa itu cuma rekaan. Bagaimanapun dialog singkat itu menunjukkan bahwa warga Sedulur Sikep—setidak-tidaknya generasi jadulnya—bersifat dan bersikap logis dan harfiah.
Cerita serupa terjadi pula di halaman rumah Gottlob Frege (GF), logikawan kenamaan di kota Jena, di masa kejayaan Wiener Kreis yang para filsufnya beraliran logiko-positivisme. Logikawan Bertrand Russell (BR), bersama istrinya, jauh-jauh datang dari Inggris, saking ingin bertemu dengan jagoan logika Jerman itu.
Waktu itu GF sedang menyiangi rumput di kebun mawarnya. Oleh BR dia dikira tukang kebun keluarga Frege. BR bertanya: "Selamat pagi. Maaf kami mengganggu, Tuan, apakah ini rumah Herr Professor Frege?" Jawaban GF: "Ya." Tanya BR lagi, "Apakah Herr Professor ada di rumah?" GF: "Tidak". BR: Apakah Frau Frege di rumah?" GF: "Tadi, ya. Ketuk saja pintunya, dan tanya sendiri."
Ketika ditanya BR apakah dia (GF) di rumah, GF memang tak sedang di(dalam) rumahnya. Dia sedang berkebun di halaman. Pertanyaan BR diterimanya secara harfiah dan dijawab GF dengan jujur dan benar.
"Absurditas Kata Kerja" Kurnia JR di rubrik ini akhir Agustus lalu menyiratkan keinginannya agar kita menggunakan bahasa Indonesia secara logis dan harfiah. Verba memainkan, mengaspal, dan merumput dalam contoh kalimat yang ditampilkannya dianggapnya tak pas. Kurnia JR pasti tahu bahwa merumput dalam "Adul Kece ... merumput di ... MU" artinya Adul menjadi pesepak bola di kesebelasan Kelab Manchester United. Namun, verba merumput itu dirasanya tak pas, dan bahkan merendahkan, sebab yang merumput ialah hewan ternak. Pilihan kata wartawan olahraga yang jatuh pada verba merumput itu tidak termasuk dalam kaidah tata bahasa; itu merupakan bagian dari kosakata bahasa Indonesia.
Pada hemat saya, dalam hal kosakata sebaiknya kita bersikap deskriptif, sedang dalam tata bahasa kita preskriptif. Dengan demikian, dalam pemilihan kata masyarakat pengguna bahasa Indonesia adalah "raja", tetapi bila menyangkut kaidah gramatika, "raja" itu tunduk kepada aturan main yang digariskan "ahlinya", yakni munsyi/bahasawan, terutama yang memiliki otoritas resmi, seperti para pakar di Badan Bahasa.
Dengan menobatkan masyarakat pengguna bahasa Indonesia sebagai "raja" di "kerajaan kosakata", berarti kita tidak nyinyir terhadap kata-kata kias/majas, apalagi kalau kata-kata itu sengaja dibuat hiperboplik dan dipakai dalam metafora. Namun, ada perkecualian, yakni di bidang ilmu. Dalam tulisan ilmiah sebaiknya kita lugas dan denotatif, kecuali kalau memerikan konsep atau entitas baru temuan asli kita sendiri. Dalam tulisan di bidang pendidikan sains, khususnya tentang proses belajar-mengajar, sebaiknya kita juga tak menggunakan kias/majas/metafora yang salah secara ilmiah, dan akan menanamkan keluncaspahaman (miskonsepsi) di dalam pikiran para (maha)siswa.
L WILARDJO, fisikawan, pendekar bahasa