UtamaQ
Iklan

Q

Oleh
Samsudin Berlian
· 3 menit baca
https://cdn-assetd.kompas.id/oGtC9QPjcpXk_9cRdZk-yuSS6O0=/1024x575/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2018%2F03%2Fbahasa-featureImage.png

Q terbuang walau tak jalang. Dalam kamus, kata berawal q bisa dihitung dengan ujung kuku kelingking. Hampir semua q dalam kata serapan diubah jadi k. Sulit menemukan landasan fundamental sebagai penjelasan, kalau ada, atas pelecehan ini. Padahal, alasan eksistensial jelas, q berbaris gagah dalam alfabet. Adakah argumen gramatikal untuk menghinakan q? Kalau ada, belum luas disebarkan oleh empunya argumen. Ataukah ini soal lidah? Dahulu, misalnya, banyak kasus huruf f diubah menjadi p, dengan alasan lidah Indonesia sulit mengucapkan f. [Sekarang, tidak lagi. Anak-anak muda dengan mudah dan meriah ber-f-f-ria.] Tapi, alasan kuno ini jelas tidak laku karena bunyi q dan k sama saja di telinga dan lidah kita.

Lantas, apakah kata lama harus diubah? Ah, tidak. Jadilah orang setia. Yang lama tetaplah disayang. Biarlah kualitas dan kuantitas terus berlaku. Tapi, kalau ada yang mengototkan qualitas dan quantitas, ya boleh-boleh saja. Paling-paling polisi bahasa sewot. Itu pun tak apa sebab kesewotan adalah fitrah inheren dan jatidirinya. Kalau tak sewot, polisi bahasa tak bahagia. Hendaklah mulai sekarang pemopuler kata baru memelihara unsur q di dalam kata serapan. Sama seperti petinggi bahasa pada 1980-an gencar memperjuangkan penolakan terhadap pengubahan f menjadi p dalam kata serapan, kiranya 2020-an akan dikenang sebagai masa perlawanan q terhadap dominasi k. Ini cuma saran, sih, polisi bahasa jangan cepat main pentung.

Editor:
Bagikan
Logo Kompas
Logo iosLogo android
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 8062 6699
Layanan Pelanggan
Kompas Kring
+6221 2567 6000