Legitimasi Kartu Pemilih Harus Segera Dipersiapkan
Oleh
DHANANG DAVID ARITONANG
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah dan penyelenggara pemilu perlu segera mempersiapkan regulasi untuk mengatur legitimasi kartu pemilih. Kartu pemilih ini nanti digunakan untuk mengakomodasi hak pilih masyarakat yang belum memiliki KTP elektronik, seperti pemilih yang akan berusia 17 tahun pada hari pemungutan suara, penyandang disabilitas, dan masyarakat adat.
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini mengatakan, legitimasi kartu pemilih ini bisa dimasukan dalam peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu). Menurut Titi, perlu ada peraturan yang lebih tinggi dari peraturan KPU untuk mengatur terkait kartu pemilih ini agar legitimasinya lebih kuat dari PKPU.
”Kami melihat potensi hak-hak pemilih tercederai, seperti masyarakat yang nantinya berumur 17 tahun ketika hari pemungutan suara, masyarakat adat yang tinggal di lahan konflik, hingga penyandang disabilitas.
”Sebagian besar belum memiliki KTP elektronik sehingga perlu ada kartu pemilih,” katanya dalam diskusi terkait Pemilu 2019 di KPU, Jakarta, Jumat (28/9/2018).
Berdasarkan UU No 7/2017 Pasal 348, setiap pemilih harus memiliki KTP elektronik agar bisa mengikuti pemilu. Selain itu, berdasarkan data Dirjen Kependudukan dan Catatan Sipil, ada sekitar 6 juta warga yang belum melakukan perekaman KTP elektronik.
Sebelumnya, wacana kartu pemilih ini muncul ketika Kementerian Dalam Negeri menemukan potensi adanya 5 juta pemilih yang akan berusia 17 tahun pada Januari 2019 hingga hari pemungutan suara 17 April 2019. Oleh sebab itu, Kemendagri mengusulkan untuk membentuk surat keterangan yang diatur dalam PKPU.
”Menurut saya, jika surat keterangan atau kartu pemilih ini dimasukkan dalam PKPU, ini akan rawan menimbulkan konflik karena keputusan yang dibuat dalam PKPU kerap menimbulkan pro dan kontra dengan tudingan KPU menjadi mendukung salah satu pihak pasangan calon,” ucap Titi.
Titi menilai, kontestasi pilpres dan pemilu yang ketat pada 2019 membuat suara-suara pemilih ini menjadi sangat penting agar bisa terakomodasi seluruhnya. Hal ini untuk mengantisipasi segala gugatan yang mungkin terjadi atas selisih suara dari hasil pemilu nanti.
”Kami berharap, kartu pemilih ini bisa digunakan tidak hanya bagi masyarakat yang akan berumiur 17 tahun, tetapi juga seluruh masyarakat yang sudah memenuhi syarat untuk memilih, tetapi tidak memiliki KTP elektronik,” katanya.
Ketua Pehimpunan Jiwa Sehat (PJS) Yeni Rosa Damayanti mengatakan, belum terfasilitasinya pemilih disabilitas dalam daftar pemilih tetap (DPT) menjadi salah satu problem yang perlu diatasi penyelenggara pemilu.
”Berdasarkan data Bawaslu, ada 0,1 persen pemilih disabilitas yang tercatat dalam DPT. Jumlah ini sangat timpang dengan data BPS yang menyebutkan bahwa jumlah penyandang disabilitas di Indonesia 12 persen dan data Kementerian Sosial yang menyebutkan jumlah penyandang disabilitas sebanyak 6 persen dari total seluruh masyarakat Indonesia,” katanya.
Yeni mengatakan, banyak penyandang disabilitas belum mendapatkan KTP elektronik karena mereka tinggal di panti sosial. Selain itu, sejumlah masyarakat masih beranggapan bahwa para penyandang disabilitas, khususnya disabilitas mental, tidak mampu untuk menyampaikan suara pada hari pemungutan suara.
Direktur Perluasan Partisipasi Politik Masyarakat Adat Abdi Akbar menjelaskan, masyarakat adat tidak memiliki KTP elektronik karena tinggal di daerah yang sulit terjangakau. Masyarakat adat ini juga ada yang tinggal di daerah lahan konflik sehingga domisili mereka tidak tercatat.
”Contohnya di daerah Nunukan, Kalimantan Utara, ratusan masyarakat di tiap kecamatan belum melakukan perekaman KTP elektronik. Oleh sebab itu, mereka perlu mendapatkan akses ini,” katanya.
Komisioner KPU, Virya Azis, mengatakan, kartu pemilih ini menjadi langkah akhir yang akan digunakan jika perekaman KTP elektronik nanti belum rampung seutuhnya hingga akhir Desember 2018.
”Kami masih yakin Kemendagri bisa melakukan perekaman KTP elektronik hingga akhir Desember. Namun, jika belum selesai, diperlukan terobosan hukum atau upaya UU agar bisa menjangkau pemilih tersebut, salah satunya dengan kartu pemilih yang dikeluarkan penyelenggara pemilu,” katanya.
Titi menjelaskan, regulasi terkait kartu pemilih ini sudah perlu dipersiapkan karena waktu pemungutan suara yang tinggal enam bulan lagi. ”Jika tidak disiapkan, penyelenggara pemilu akan disibukkan dengan tahapan-tahapan lain, seperti kampanye, sehingga masalah ini baru dipikirkan di menit-menit akhir,” ujarnya.