Peluang Kopi Nusantara di Pasar Global Besar
SEMARANG, KOMPAS — Peluang perdagangan kopi Indonesia di tingkat global semakin besar. Hal itu mesti direspons pelaku usaha kopi bersama petani dengan meningkatkan kualitas serta kuantitas produksi.
Produksi kopi Indonesia saat ini sebesar 600.000 ton per tahun. Hal ini menjadi sangat berarti terlebih pada 2030 diperkirakan dunia akan defisit kopi sekitar 30 juta karung.
Defisit terjadi akibat adanya perubahan iklim, diversifikasi tanaman, serta bencana alam yang mengurangi produktivitas kopi dunia.
”Bisa jadi peluang pasar global makin besar seiring dengan meningkatnya konsumsi kopi dunia. Padahal, di sejumlah negara produsen kopi diprediksi akan ada penurunan karena faktor alam ataupun diversifikasi tanaman. Hal ini menjadi potret besar peluang kopi Indonesia ke depan,” tutur Moelyono Susilo, Ketua Kompartemen Kopi Specialty dan Industri Badan Pengurus Pusat Asosiasi Eksportir Kopi Indonesia (AEKI), Selasa (2/10/2018), di Semarang.
Moelyono mengatakan, peluang pasar ini menjadi bahasan penting bagi petani kopi dan pemerhati pengembangan tanaman kopi di negara-negara Asia Tenggara. Seperti juga Indonesia, Vietnam merupakan negara produsen kopi cukup besar dan juga berkeinginan menangkap peluang pasar itu dengan meningkatkan produksi kopi.
Harga kopi di pasar global pada awal Oktober sudah mulai naik. Dari harga dua pekan lalu 1.500 dollar AS per ton, kini menjadi 1.572 dollar AS per ton. Pengaruh iklim kemarau tahun ini ternyata sangat baik untuk hasil panen kopi dari perkebunan rakyat dan perkebunan kopi besar yang dikelola badan usaha milik negara.
Pengaruh iklim kemarau tahun ini ternyata sangat baik untuk hasil panen kopi dari perkebunan rakyat dan perkebunan kopi besar.
Panen kopi arabika kini bisa 600 kilogram sampai 700 kilogram per hektar. Adapun kopi robusta lebih tinggi lagi, 1 ton-1,2 ton per hektar.
Hasil panen ini, apabila petani dapat mempertahankannya, sekaligus melakukan perawatan tanaman sesuai mekanisme yang benar, dalam 10 tahun ke depan diyakini bisa meningkat dua kali lipat.
Peningkatan produksi
Dari data yang diperoleh AEKI, hasil panen kopi meningkat tidak hanya karena monopoli perkebunan kopi di Jawa. Panen di hampir semua sentra kopi juga meningkat.
Kopi berkualitas yang sudah dikenal dan digemari pencinta kopi internasional seperti kopi Gayo Aceh, kopi Toraja, kopi Java, dan kopi Kintamani Bali juga naik hasil panennya. Produksi total untuk panen tahun ini berkisar 600.000-690.000 ton atau memberi sumbangan 7,3 persen dari total produksi kopi dunia.
Oleh karena itu, AEKI sangat berkepentingan sekiranya pemerintah atau lembaga yang membidangi sektor perkebunan terutama kopi dapat terus-menerus melakukan riset dan pengembangan untuk pemberdayaan petani. Tujuannya, pada peningkatan produktivitas tanaman kopi.
Edukasi yang berkelanjutan akan memberikan kepastian pada peluang-peluang pasar supaya petani bersemangat mengolah kopi guna memenuhi standar ekspor.
Terhadap peluang ekspor kopi, General Manager Kampoeng Kopi Banaran di bawah naungan PT Perkebunan Nusantara IX Jawa Tengah Widya Banu Aji menyebutkan, hampir 80 persen hasil kopi robusta yang dipanen di perkebunan Banaran masih untuk pasar ekspor. Ekspor kopi terbesar adalah Italia. Meski ekspor masih dominan ke Italia, kopi Banaran juga mulai menjajaki perluasan pasar ekspor ke Timur Tengah dan negara-negara di Eropa lainnya.
Perluasan ekspor dibutuhkan, terlebih upaya peningkatan produksi kopi. Peningkatan produksi tidak dengan memperluas jumlah lahan atau menambah jumlah tanaman kopi.
Peningkatan hasil panen lebih fokus pada perawatan dan pemupukan berimbang. Perawatan yang intensif dilakukan dengan mengurangi dahan yang tidak produktif.
”Kalau selama ini hasil petikan kopi untuk satu pohon hanya 5 kilogram, melalui metode pengurangan dahan tidak produktif diharapkan biji kopi makin fokus sehingga hasil panen bisa lebih dari 7,5 kilogram per pohon,” ucap Widya.
Petani kopi di kebun kopi Tanah Miring, Gesing, Kabupaten Temanggung, Poerwanto, mengemukakan, kunci peningkatan produktif tanaman kopi bukan pada perluasan lahan. Sebagai petani yang sudah mengembangkan tanaman kopi sejak 1995, ia mengatakan, hanya dari tanaman kopi sekitar 450 pohon kopi, dirinya bisa meningkatkan hasil panen 15-20 kilogram kopi biji basah per pohon.
Kopi hasil panen yang telah diolah kini sudah empat tahun terakhir diekspor ke Ceko, Malaysia, dan Singapura. Kopi yang diekspor merupakan kopi biji kering yang memenuhi standar kualitas grade A dengan harga pasar di regional mencapai Rp 55.000 per kilogram.