Neraca perdagangan pada September 2018 surplus 0,23 miliar dollar AS. Namun, surplus bulan lalu terjadi karena impor turun lebih tinggi ketimbang ekspor.
JAKARTA, KOMPAS - Badan Pusat Statistik atau BPS mencatat, nilai impor selama September 2018 mencapai 14,6 miliar dollar AS, turun 13,1 persen dibandingkan Agustus 2018. Sementara nilai ekspor mencapai 14,8 miliar dollar AS atau turun 6,5 persen dibandingkan Agustus 2018.
Secara total, defisit neraca perdagangan selama Januari-September 2018 mencapai 3,78 miliar dollar AS, lebih rendah dibandingkan situasi sebulan sebelumnya yang tercatat 4,08 miliar dollar AS. Penurunan ekspor dinilai dipicu oleh turunnya permintaan global terhadap komoditas ekspor unggulan Indonesia. Di sisi lain, impor bahan baku/penolong turun karena pelaku usaha mengerem produksi.
Sejumlah komoditas ekspor unggulan Indonesia, seperti produk tekstil dan minyak kelapa sawit (CPO), turut melorot. "Penurunan itu disebabkan permintaan global yang cenderung melorot," kata Deputi Statistik Distribusi dan Jasa BPS, Yunita Rusanti di Jakarta, Senin (15/10/2018).
Penurunan itu tampak dari permintaan China dan Amerika Serikat (AS), dua negara yang menjadi pangsa ekspor terbesar Indonesia, yang turun. Meski akan memasuki musim dingin, nilai ekspor pakaian jadi ke AS pada September 2018 turun 13,37 persen dan alas kaki turun 8,59 persen dibandingkan bulan sebelumnya. Nilai ekspor alas kaki ke China juga turun 60,6 persen.
Sementara nilai ekspor minyak kelapa sawit ke kedua negara tersebut juga turun dibandingkan Agustus 2018. Ekspor ke AS turun 23,42 persen dan ke China turun 16,66 persen.
Menurut Wakil Ketua Bidang Hubungan Internasional Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, Shinta Kamdani, turunnya ekspor produk pakaian ke AS dan China dipicu oleh persaingan dengan Vietnam. Daya saing produk Vietnam lebih unggul. Sementara ekspor CPO terpengaruh sentimen negatif di beberapa negara sasaran.
Pengereman produksi
Dosen Ilmu Ekonomi Universitas Indonesia, Lana Soelistianingsih, menyoroti adanya gejala pengereman produksi oleh pelaku usaha di dalam negeri. Hal itu tercermin dari turunnya nilai impor bahan baku sebesar 13,53 persen dibandingkan Agustus 2018 menjadi 10,92 miliar dollar AS.
Pengereman produksi dinilai turut dipengaruhi oleh tekanan terhadap nilai tukar rupiah serta ketidakpastian pasar global akibat perang dagang. "Saat rupiah terdepresiasi, diperparah oleh sentimen global, pelaku usaha tidak mendapatkan kepastian bisnis sehingga saat ini memilih mengerem produksinya," ujarnya.
Akan tetapi, menurut Shinta, pelaku usaha terus berproduksi. Penurunan impor disebabkan oleh hambatan di sisi perizinan.
Sementara itu, penerapan sejumlah kebijakan yang diharapkan menekan defisit seperti perluasan penggunaan campuran biosolar 20 persen (program B-20) dan peningkatan tarif pajak penghasilan impor terhadap 1.147 barang dinilai belum berdampak. "Pada September 2018 belum terlihat signifikan pengaruhnya karena (B20) baru efektif diterapkan sekitar 2-3 minggu. Dampaknya terlihat di akhir tahun," tambah Yunita.
Upaya mendorong substitusi bahan baku impor dinilai penting untuk memperbaiki kinerja perdagangan. Dukungan bagi industri hilir juga diperlukan agar mampu mengisi kebutuhan produk dalam negeri. Termasuk mendorong tingkat kandungan dalam negeri.
"(Di industri plastik) Impor paling banyak di tahap antara, yakni biji plastik, karena kebutuhan naik, tapi pasokan tetap," kata Sekretaris Jenderal Asosiasi Industri Olefin, Aromatik, dan Plastik Indonesia, Fajar Budiono.