JAKARTA, KOMPAS – Tepat satu bulan masa kampanye Pemilu 2019, Badan Pengawas Pemilu mencatat dua dugaan pelanggaran, yakni terkait politik uang di beberapa daerah dan netralitas aparatur sipil negara. Kontestasi pemilu yang semakin tinggi dinilai menjadi penyebab dua pelanggaran ini akan tetap muncul.
Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Abhan di Jakarta, Selasa (23/10/2018), menyampaikan, Bawaslu mencatat sejumlah pelanggaran selama sebulan masa kampanye ini. Pelanggaran terkait politik uang dan netralitas aparatur sipil negara (ASN) telah sampai pada proses penyidikan dan penuntutan.
“Dugaan money politic masih mewarnai. Sudah ada beberapa daerah yang sampai ke proses pengadilan. Tentu ini menjadi peringatan bagi kami agar pencegahan lebih dimaksimalkan,” ujar Abhan dalam diskusi bertajuk ‘Penengakan Kode Etik Penyelenggara Pemilu dalam Kampanye Pemilu 2019’.
Abhan menjelaskan, politik uang masih akan tetap terjadi karena kontestasi Pemilu 2019 semakin tinggi. Hal ini tidak terlepas dari naiknya ambang batas parlemen (parliamentary threshold) dari sebelumnya 3,5 persen pada pemilu 2014 menjadi 4 persen pada Pemilu 2019.
Selain politik uang, potensi pelanggaran Pemilu 2019 juga terkait dengan netralitas ASN. Aturan terkait netralitas ASN telah tertuang pada Pasal 9 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN, yang menyebutkan, ASN harus bebas dari pengaruh dan intervensi semua golongan dan partai politik.
“Pada Pilkada 2018 lalu memang masih banyak persoalan terkait netralitas ASN. Hal yang menjadi masalah yaitu penjatuhan sanksi terhadap ASN yang tidak netral ini dilakukan oleh pejabat pembuat komitmen dan itu adalah kepala daerah. Regulasi sanksi dari ASN ini nanti akan dipertegas,” kata Abhan.
Salah satu langkah yang terus dilakukan Bawaslu untuk menghilangkan pelanggaran pemilu ini menurut Abhan yaitu dengan terus menyosialisasikan dan memberi arahan kepada para peserta peserta pemilu.
Selain itu, Abhan juga berharap partai politik dapat memberikan edukasi terkait politik yang bersih dan berintegritas kepada para pemilih maupun masyarakat luas.
“Masa kampanye ini masih panjang yakni hampir tujuh bulan. Mendekati masa tenang atau bahkan saat masa tenang itu yang biasanya banyak potensi pelanggaran. Pemilu yang bersih dan damai dan tercipta jika semua peserta punya komitmen bersama,” tutur Abhan.
Pelanggaran penyelenggara
Wakil Direktur Saksi Tim Kampanye Nasional Joko Widodo-Ma\'ruf Amin, Lukman Edy, menyebutkan, dugaan pelanggaran pemilu tidak hanya dilakukan oleh peserta, tetapi juga penyelenggara. Menurutnya, pelanggaran pemilu oleh penyelenggara (KPU dan Bawaslu) terjadi pada tingkat paling bawah atau kecamatan.
“Rekrutmen yang dilakukan KPU maupun Bawaslu di tingkat pusat atau daerah kami yakin masih bagus. Tetapi di tingkat terbawah yaitu kecamatan dan tempat pemungutan suara (TPS) di desa masih menemui banyak persoalan,” ujarnya.
Lukman menyatakan, para penyelenggara pemilu di tingkat terbawah tersebut masih belum terjamin netralitasnya. Dia menilai, penyelenggara tersebut masih terang-terangan mendukung dan memihak salah satu pasangan calon presiden atau calon legislatif.
“Mereka juga terkadang melaksanakan fungsi ganda. Selain menjadi penyelenggara mereka juga kampanye dari pintu ke pintu. Saat menyebarkan undangan C6 mereka sekaligus berkampanye untuk mendorong masyarakat memilih salah satu pasangan calon,” ungkap Lukman.
Anggota Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) Muhammad berharap, KPU dan Bawaslu dapat memberikan pembinaan yang serius kepada setiap jajarannya secara berjenjang mulai dari tingkat pusat hingga daerah.
“Dalam UU Pemilu ada kewenangan KPU secara berjenjang untuk menilai dan memberi sanksi dalam penegakan kode etik bagi tenaga ad hoc. Kepercayaan publik harus dijaga sehingga masyarakat tidak hanya melihat KPU dan Bawaslu sebagai lembaga yang profesional, tetapi juga berintegritas,” ucapnya.