Regulasi Tumpang Tindih Hambat Penindakan Pencucian Uang
Oleh
ELSA EMIRIA LEBA
·3 menit baca
DEPOK, KOMPAS — Regulasi yang tumpang tindih menghambat penindakan kejahatan pencucian uang lintas negara. Dialog antarnegara terus didorong guna menyinkronisasi penindakan hukum yang sesuai dengan perkembangan zaman.
Memasuki era revolusi industri 4.0, tidak hanya dunia usaha yang dapat berinovasi untuk beradaptasi dengan perubahan teknologi. Kejahatan, khususnya tindakan pencucian uang, turut berubah menjadi lebih canggih dan sistematis.
Wakil Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Dian Ediana Rae dalam The International Seminar on Foreign Predicate Offences: Meningkatkan Efektivitas Penanganan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) mengatakan, perbedaan regulasi di setiap negara sering menjadi momok dalam menangani kasus pencucian uang.
”Birokrasi, perbedaan prinsip, dan metode penyelesaian kasus adalah beberapa contohnya,” kata Dian, di Depok, Rabu (31/10/2018).
Dian melanjutkan, masalah birokrasi kerap membuat saksi korban yang berada di luar negeri sulit untuk dibawa ke Indonesia. Sejumlah proses harus dilewati terlebih dahulu, seperti mengontak Kedutaan Besar Republik Indonesia dan pihak berwenang negara tujuan.
Selain itu, tidak semua negara memandang isu tertentu dengan prinsip yang sama sehingga tidak muncul kriminalitas ganda (double criminality). Dengan demikian, ada beberapa kasus ketika tindak pidana yang dilakukan luar negeri oleh seseorang bukanlah kejahatan di Indonesia sehingga tidak bisa diproses lebih lanjut, begitu pula sebaliknya.
Perjudian, misalnya, adalah kegiatan ilegal di Indonesia, tetapi tidak di negara lain, seperti Singapura dan Amerika Serikat. Penangkapan ikan ilegal merupakan kejahatan di Indonesia, tetapi tidak di sejumlah negara.
Selain kedua masalah tersebut, penyidik juga harus bergelut dengan tenggat yang terbatas. Persepsi dari pihak berwenang terkait kasus yang menjadi prioritas juga kerap berbeda sehingga membutuhkan waktu yang lebih untuk melakukan sinkronisasi.
Menurut Dian, langkah yang paling tepat oleh pihak berwenang saat ini adalah meminta negara tempat uang bersarang untuk segera dibekukan. ”Semakin cepat, semakin baik agar tidak disalahgunakan,” ujarnya.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang menyebutkan, aset yang diduga hasil tindak kejahatan dapat dibekukan selama lima hari. PPATK dapat memperpanjangnya selama 15 hari untuk melengkapi hasil pemeriksaan yang akan disampaikan kepada penyidik.
Wakil Direktur Tindak Pidana Ekonomi Khusus Bareskrim Komisaris Besar Daniel Tahi Monang Silitonga menambahkan, pembekuan aset juga tidak bisa dilakukan begitu saja. Bahkan, ada aset yang sudah dibekukan terpaksa harus dilepas kembali karena terbentur ranah hukum yang belum padu.
”Kami pernah menyita kapal pesiar mewah Equanimity atas permintaan FBI (Biro Investigasi Federal AS),” ucap Daniel.
Namun, kapal yang diduga adalah hasil pencucian uang skandal 1MDB dari Malaysia tersebut terpaksa dibebaskan. Hal itu karena Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menilai kapal tersebut tidak terlibat kejahatan di dalam negeri.
Ia menegaskan, komitmen bersama adalah kunci agar penindakan pencucian uang bisa diatasi lintas negara. Dialog antarnegara penting untuk meningkatkan koordinasi dalam menindak TPPU.
Progresif dan revolusioner
Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum Kejaksaan Agung Noor Rachmad mewakili Jaksa Agung Muhammad Prasetyo menyebutkan, TPPU tidak lagi mengenal wilayah operasi. Penegak hukum tidak bisa mengandalkan strategi konvensional.
”Butuh perangkat dan strategi yang progresif dan revolusioner agar dapat mengikuti tersangka, uang, dan aset. Para pelaku juga memanfaatkan perbedaan hukum yang ada,” kata Noor.
TPPU merupakan ancaman yang serius bagi keamanan, kemajuan, dan kesejahteraan dunia. Indonesia yang berbatasan dengan banyak negara membuat bangsa ini rentan dengan kasus TPPU.
Dian menambahkan, TPPU membuat dunia merugi lebih dari 1 triliun dollar AS. Kegiatan TPPU masuk ke ekonomi hitam (black economy) sehingga aset untuk kegiatan ekonomi yang produktif malah digunakan untuk keuntungan pribadi atau golongan tertentu.