Selalu Ada Cahaya di Lorong Hitam
Sudah 20 tahun kasus Semanggi I menjadi catatan kelam bagi bangsa ini. Selama 20 tahun itu pula, Maria Catarina Sumarsih memperjuangkan keadilan bagi anaknya yang menjadi korban, Bernardinus Realino Norma Irmawan atau Wawan.
”Memperjuangkan penyelesaian kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat, khususnya Semanggi I, itu seperti berjalan di lorong hitam yang gelap dan panjang. Namun, saya selalu menemukan cahaya di dalamnya,” ujar Sumarsih, di Jakarta, Rabu (14/11/2018) lalu.
Selalu ada jalan, selalu ada usaha yang bisa dilakukan. Itulah jawaban Sumarsih ketika ditanya bagaimana menjalani lorong hitam tersebut. Kedua matanya yang renta tetap memancarkan keyakinan, proses pengadilan pasti dilakukan.
Menguak kembali memoar Kasus Semanggi I tahun 1998 menghadapkan kita pada tujuh mahasiswa, pejuang Reformasi yang gugur dalam tekad perjuangan bangsa. Masyarakat sipil dan mahasiswa menjadi korban atas penembakan yang membabi buta.
Kompas (14/11/1998) mencatat, aksi penembakan, pemukulan, dan baku hantam pada Jumat (13/11/1998) malam di depan Universitas Katolik Atma Jaya Jakarta dikenang sebagai tragedi Semanggi berdarah. Aparat keamanan saat itu bertindak apa saja demi mengamankan Sidang Istimewa (SI) MPR yang dinilai merupakan konsolidasi para kroni Soeharto.
Rangkaian penembakan bertubi-tubi oleh aparat keamanan dimulai sejak pukul 15.40 hingga tengah malam. Sejarah mencatat, pesta wakil rakyat itu memakan banyak korban, 253 orang luka-luka, 17 orang meninggal, dan 7 orang di antaranya mahasiswa.
Meski telah jatuh korban, mahasiswa dan masyarakat tetap gigih memperjuangkan aspirasinya. Penolakan SI MPR, tuntutan penghapusan dwifungsi ABRI, dan pengadilan terhadap Soeharto kepada para wakil rakyat yang tengah bersidang.
Kepergiannya, membanggakan
Ayah Wawan, Arief Priyadi, mengatakan, Wawan merupakan anak yang cerdas, sopan, mudah bergaul, dan berjiwa sosial tinggi. Saat menjadi mahasiswa Fakultas Ekonomi Akuntansi Atma Jaya, Jakarta, Wawan bergabung dengan berbagai organisasi. Salah satunya, Tim Relawan Kemanusiaan.
”Empati yang dimiliki Wawan itu sangat tinggi. Saya diceritakan temannya, bahkan hingga akhir hayatnya, ketika ditembak aparat, Wawan dalam posisi menolong korban lainnya,” ujar Arief.
Cinta orangtua memang tak lekang oleh waktu. Arief dan Sumarsih selalu mengunjungi Wawan setiap Sabtu, Minggu, dan hari libur.
Pada Sabtu (17/11/2018) sekitar pukul 13.00, Kompas berkesempatan ikut mengunjungi Wawan. Bersama Arief dan Sumarsih, kami pergi ke tempat peristirahatan terakhir Wawan di Tempat Pemakaman Umum Joglo.
Ketika sampai di makam, Sumarsih langsung menyapu kijing, batu penutup makam yang menyatu dengan batu nisan, dengan sapu lidi kecil. Sementara Arief mengelapnya dengan kain. Tak memakan waktu lama, kijing Wawan tampak bersih kembali.
Arief dan Sumarsih kemudian menaikkan doa rosario di sekitar makam Wawan. Tak hanya Wawan yang disebut dalam doanya, Sumarsih juga mendoakan penembak Wawan dan negara Indonesia.
”Saya enggak bisa membayangkan kenapa penembak itu begitu tega membidik Wawan. Bukan soal Wawan, melainkan kenapa penembak itu tega membunuh sesama manusia,” ujar Sumarsih.
Dalam doanya, Sumarsih mendoakan agar penembak Wawan diberikan pengampunan. Sementara untuk negara, ia mendoakan agar bertanggung jawab dalam menegakkan keadilan.
Kenangan itu memang terpatri jelas dalam benak kedua orangtua Wawan. Setiap kata yang terurai dari bibirnya seperti menceritakan kejadian yang belum lama terjadi. Mengalir dan mendalam, membuat pendengar ikut merasakan kejadian saat itu.
”Hal yang paling saya sesali, saya tidak sempat membelikan Wawan telepon seluler. Padahal, kalau Wawan punya ponsel, kami bisa lebih sering berkomunikasi saat itu,” kata Sumarsih.
”Saya tak akan berhenti”
Sumarsih mengakui, 20 tahun tanpa henti memperjuangkan keadilan tidaklah mudah. Ada saat di mana dirinya sudah lelah melihat pemerintah yang terus menarik ulur proses pengadilan meski hasil penyelidikan Komisi Nasional HAM telah diserahkan sejak lama.
Cinta tidak dapat diputus dengan kematian. Saya percaya Wawan masih bersama saya sama meski tidak secara fisik.
Sumarsih mengatakan, ketika dirinya putus asa, hanya cinta yang menyemangati dirinya. ”Cinta tidak dapat diputus dengan kematian. Saya percaya Wawan masih bersama saya sama meski tidak secara fisik,” katanya sambil menahan air mata jatuh dari kedua matanya.
Cintanya kepada Wawan saat ini sudah bertransformasi menjadi cinta kepada keluarga korban lainnya yang juga mengalami kejadian serupa. Baginya, cinta ini merupakan energi untuk menegakkan supremasi hukum dan HAM.
”Banyak keluarga korban yang menitipkan perjuangan ini kepada saya. Tak hanya Tragedi Semanggi I, tetapi juga keluarga korban pelanggaran HAM berat lainnya. Mereka bilang sudah enggak sanggup, sudah putus asa,” ujar Sumarsih.
Kegigihan Sumarsih tetap memperjuangkan keadilan bukan tanpa alasan. Memang anaknya sudah meninggal dan ia sudah menerima kenyataan itu. Namun, satu hal yang ingin ia wujudkan, jaminan keadilan bagi masa depan bangsa.
”Negara Indonesia adalah negara hukum. Apabila hukum itu tidak bisa ditegakkan, saya yakin kejadian pelanggaran HAM berat akan terulang lagi di Indonesia,” kata Sumarsih. (SHARON PATRICIA)