Petani Jadi Benteng Pertahanan Lahan Pertanian
Selain komitmen pemerintah daerah, kesejahteraan petani menjadi kunci mempertahankan luas lahan pangan. Jika kesejahteraan petani tidak terjamin, lahan pertanian bakal terus beralih fungsi.
JAKARTA, KOMPAS - Petani dinilai harus menjadi tokoh sentral dalam upaya mempertahankan lahan pangan. Sebab, petani masih memegang mayoritas kepemilikan lahan sawah meski alih kepemilikan terus terjadi.
Guru Besar Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB) sekaligus Ketua Umum Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia (AB2TI), Dwi Andreas Santosa Kamis (22/11/2108) berpendapat, menjadikan petani sebagai tokoh sentral berarti menjamin kesejahteraannya, termasuk jaminan keuntungan di tengah fluktuasi harga pangan.
Jika sejahtera dengan lahan miliknya, petani akan cenderung mempertahankannya. Sebaliknya, jika kesejahteraan tak terjamin, petani akan menyerahkannya untuk memperoleh nilai ekonomi yang lebih baik.
Sebanyak 503.000 hektar sawah milik petani di Pulau Jawa telah beralih kepemilikan sepanjang tahun 2003-2013.
Menurut Andreas, jika lahan tak lagi dimiliki petani, kepentingan pemanfaatan lahan untuk ketahanan pangan tak lagi jadi prioritas.
Oleh karena itu, insentif fiskal dan nonfiskal bagi petani mesti diperhatikan dan direncanakan secara matang. Kini pemerintah tengah menyusun Peraturan Presiden tentang lahan sawah abadi. Salah satu poin yang tengah dikaji adalah insentif bagi petani.
Di sela kunjungannya dalam rangka pendaftaran tanah sistematis lengkap 2018 dan penyelesaian sengketa pertanahan di Lebak, Banten, Wakil Ketua Komisi II DPR Herman Khaeron menyatakan, intensif itu bisa berupa pupuk, bibit, dan alat pertanian.
Kepala Kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Lebak, Ady Muchtadi mengatakan, insentif yang selayaknya diberikan tak hanya pupuk, bibit, dan alat pertanian. "Mereka juga perlu insentif pemasaran dengan harga komoditas pertanian yang stabil. Jadi, penghasilan petani tidak terganggu fluktuasi harga," ujarnya.
Janji melindungi
Komitmen pemda juga jadi kunci. Pemda bertanggung jawab dalam mengeluarkan izin pemanfataan lahan. Pemda juga harus mematuhi peraturan daerah terkait rencana tata ruang wilayah (RTRW) yang memuat perlindungan lahan pangan.
Sayangnya, menurut Direktur Jenderal Pengendalian Pemanfaatan Ruang dan Penguasaan Tanah Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Budi Situmorang, sebagian pemda masih melihat sawah sebagai objek yang bisa dialihfungsikan.
Menurut Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD), Robert Endi Jaweng, pemberian izin sesuai dengan rencana detil tata ruang (RDTR) bisa efektif mempertahankan lahan pangan. "Namun, berdasarkan pantauan kami, dari 542 kabupaten/kota, hanya sekitar 50 daerah yang memiliki RDTR," ujarnya.
Baca juga: https://kompas.id/baca/utama/2018/11/22/pemerintah-godok-perpres-lahan-pangan-abadi/
Dokumen RDTR merinci RTRW. Rencana pemanfaatan lahan, termasuk untuk sawah, tercantum di dalamnya. RDTR menjadi landasan pemda dalam mengeluarkan izin peruntukkan penggunaan tanah (IPPT). "Kalau RDTR tidak ada, penyelewengan IPPT rawan terjadi. Hal itu berimbas pada konversi lahan pangan karena secara nilai ekonomi lebih menguntungkan," tuturnya.
Selain itu, penyusunan dokumen RTRW maupun RDTR tidak bersifat jangka panjang karena terbatas masa jabatan kepala daerah yang berkisar 5-10 tahun. RTRW provinsi dan nasional seharusnya menjadi acuan terutama terkait dengan lahan pangan.
Berdasarkan data yang diumumkan pemerintah pada 22 Oktober 2018, luas baku sawah berkurang 645.855 hektar selama kurun tahun 2013-2018. Namun, sejumlah pemerintah kabupaten dan provinsi berjanji melindungi lahan pertaniannya melalui perda dan peraturan bupati.
Pemerintah Provinsi Jawa Timur, misalnya, menyiapkan peraturan daerah untuk melindungi 1,28 juta hektar sawah. Upaya serupa ditempuh Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Banyuwangi juga tengah menyiapkan perda.
Adapun Pemkab Malang, menyiapkan Peraturan Bupati untuk memperkuat Perda tentang Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan. Sejumlah kabupaten di Jawa Timur telah menetapkan lahan pertanian berkelanjutan, antara lain Kabupaten Ngawi, Kabupaten Madiun, dan Kabupaten Sidoarjo. Namun, upaya mempertahankan lahan pangan dinilai tidak mudah.
Kepala Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan Jawa Timur, Hadi Sulistyo menyatakan, kendala mempertahankan luas sawah tetap berat. Di Jawa Timur, laju penyusutan atau alih fungsi lahan pertanian sekitar 18.000 hektar per tahun, setara dengan 25.210 kali ukuran lapangan sepak bola.
Kepala Dinas Pertanian Banyuwangi, Arief Setiawan mengatakan, pihaknya berupaya melindungi lahan pertanian dari alih fungsi. "Dari total luas lahan pertanian 65.457 hektar, sebanyak 55.030 hektar di antaranya akan kami lindungi dengan peraturan daerah. Hingga kini, peraturan itu masih dalam proses progam legilasi daerah," ujarnya.
Bertambah
Berbeda dengan mayoritas provinsi di Pulau Sumatera dan Pulau Kalimantan, luas baku sawah di sebagian besar provinsi di Pulau Jawa, berdasarkan data Kementerian ATR/BPN, justru bertambah. Selama 2013-2018, lahan baku sawah di Pulau Jawa meningkat 124.445 hektar menjadi 3,47 juta hektar.
Penambahan paling signifikan terjadi di Jawa Timur, yakni dari 1,08 juta hektar menjadi 1,28 juta hektar. Hanya Jawa Tengah yang luas sawahnya tercatat susut, yakni 123.156 hektar, selama lima tahun tersebut. Sementara di Jawa Barat, Banten, DI Yogyakarta, dan DKI Jakarta bertambah. Penambahan itu dinilai tidak mencerminkan situasi di lapangan.
Menurut Budi Situmorang, penambahan luas dipengaruhi oleh teknologi citra satelit terbaru yang digunakan karena pengambilan datanya jadi lebih rinci. Ihwal perbedaan data di daerah, hal itu akan menjadi bahan evaluasi bersama.