BANDUNG, KOMPAS - Produksi sejumlah komoditas perkebunan Indonesia, seperti kelapa sawit, kakao, kopi, dan kelapa dinilai belum maksimal. Produksinya masih jauh di bawah potensi sebenarnya.
“Produksi komoditas masih bisa dioptimalkan. Perlu pembinaan petani, keterlibatan ahli, dan sinergi berbagai pihak,” ujar Direktur Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian Bambang pada peringatan Hari Perkebunan Ke-61 di Kota Bandung, Jawa Barat, Senin (10/12/2018).
Bambang mencontohkan, produksi kelapa sawit di perkebunan rakyat rata-rata 2-3 ton per hektar per tahun. Padahal, jika dikelola baik, produksinya bisa hingga 12 ton per ha per tahun.
Nilai ekspor komoditas perkebunan pada 2017 mencapai Rp 432 triliun. Namun, nilainya tahun ini diprediksi turun menjadi sekitar Rp 400 triliun.
Begitu juga dengan produksi kakao yang saat ini 500 kg per ha per tahun. Potensi produksi kakao bisa melebihi 4 ton per ha per tahun.
“Ada beberapa kendala. Misalnya untuk tanaman kakao, belum semua petani menyadari pentingnya kebutuhan air saat kemarau. Begitu juga dalam pemeliharaan dan pemangkasan secara berkala,” jelasnya.
Oleh sebab itu, petani perlu dibimbing berkelanjutan mengoptimalkan kebunnya. Kementerian Pertanian juga menyiapkan tenaga ahli pertanian di setiap desa berbasis perkebunan.
“Rencananya dibiayai 2-3 tahun. Selanjutnya, biayanya (tenaga ahli pertanian) bisa dialokasikan dari hasil peningkatan produksi komoditas itu," ujarnya.
Persoalan perkebunan, kata Bambang, jadi tantangan besar pemuda. Seiring potensi produksi yang besar, generasi muda diharapkan semakin tertarik, sehingga pemanfaatan lahan perkebunan dapat berkelanjutan.
Selain itu, pengolahan hasil juga sangat penting sehingga komoditas perkebunan mendapat nilai lebih. Saat ini, mayoritas produk perkebunan diekspor berupa bahan baku mentah.
Harga turun
Sektor perkebunan di Indonesia juga menghadapi tantangan penurunan harga komoditas di tingkat internasional. Itu berimbas kepada penurunan nilai ekspor pada tahun ini.
Bambang mengatakan, nilai ekspor komoditas perkebunan pada 2017 mencapai Rp 432 triliun. Namun, nilainya tahun ini diprediksi turun menjadi sekitar Rp 400 triliun.
“Sampai akhir Oktober 2018 nilai ekspor Rp 353 triliun. Salah satu penyebabnya harga komoditas menurun. Namun, dari sisi produksi meningkat,” ujarnya.
Manajer Sektor Kakao dan Kopi Rikolto Indonesia Peni Agustijanto mengatakan, optimalisasi produksi perkebunan dapat dilakukan dengan memberdayakan petani. Teknik bertani dan teknologi yang lebih baik perlu dibagikan ke petani, salah satunya lewat sertifikasi.
“Melalui sertifikasi, petani juga bisa menjual produknya ke pasar yang lebih luas. Selain produksinya meningkat, harganya juga lebih tinggi,” ujarnya. Rikolto merupakan lembaga swadaya masyarakat berpusat di Belgia yang fokus mendukung petani berkelanjutan.
Dalam sepuluh tahun terakhir, Rikolto mendampingi petani kakao di beberapa wilayah di Sulawesi dan Nusa Tenggara Timur dengan menjangkau sekitar 11.000 petani. Peni mengatakan, setelah mengikuti program sertifikasi, sejumlah petani dapat meningkatkan produksinya.
“Semula produksi kakao 500 kg per hektar per tahun. Saat ini meningkatn menjadi 700 kg – 800 kg per tahun,” ujarnya.
Akan tetapi, di beberapa daerah, produksinya tetap 500 kg per hektar per tahun. “Kami masih terus meneliti apakah ada pengaruh kecocokan pupuk dengan lahannya,” ujarnya.