JAKARTA, KOMPAS Karakter kepemimpinan di daerah menjadi faktor yang menentukan dalam memperbaiki tata kelola pemerintahan untuk meminimalisasi potensi korupsi. Namun, tidak mudah memunculkan sosok pemimpin di daerah yang punya komitmen anti korupsi tinggi.
Terus adanya kepala daerah yang ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), mengindikasikan kondisi ini. Terakhir, Rabu (12/12/2018), KPK menangkap Bupati Cianjur Irvan Rivano Muchtar terkait korupsi dana alokasi khusus di Dinas Pendidikan Kabupaten Cianjur. Dia menjadi kepala daerah ke-27 yang pada tahun 2018 ini diproses hukum oleh KPK.
Di tengah proses hukum terhadap sejumlah kepala daerah itu, di beberapa daerah juga ditemukan kepala daerah yang berkomitmen kuat pada pemberantasan korupsi. Namun, masa jabatan mereka terbatas, maksimal 10 tahun. Program antikorupsi dengan demikian harus dilembagakan agar tak berakhir saat kepala daerah yang antikorupsi itu, mengakhiri jabatannya.
Pelembagaan program anti korupsi, juga dibutuhkan agar program antikorupsi, makin tersebar di berbagai daerah.
Selain itu, guna mendorong upaya pencegahan korupsi dan perbaikan sistem, KPK melakukan koordinasi dan supervisi pencegahan (korsupgah) untuk membantu pemerintah daerah dalam memperbaiki delapan hal. Di antaranya perencanaan APBD, serta pengadaan barang dan jasa. Walau tidak semua daerah dapat mencapai menghasilkan perkembangan yang sama.
Berdasar data Sistem Informasi Korsupgah KPK, ada lima provinsi yang perkembangan implementasi rencana aksinya sama atau di atas 60 persen. Lima provinsi itu adalah DKI Jakarta (72 persen), Gorontalo (68 persen), Jawa Tengah (67 persen), Jawa Barat (64 persen), serta Kalimantan Selatan (60 persen). Di saat yang sama, juga ada sembilan provinsi yang implementasinya masih di bawah 30 persen.
Kepemimpinan
Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Syarif Hidayat di Jakarta, kemarin menuturkan kepemimpinan menjadi faktor yang menentukan keberhasilan program anti korupsi melalui perbaikan tata kelola pemerintahan. Ini karena patron-klien masih hidup dalam budaya birokrasi di Indonesia.
“Dalam hal ini, jika pemimpinnya korupsi, maka akan menjadi justifikasi bagi bawahannya untuk melakukan hal serupa,” katanya.
Kondisi ini tidak ideal karena model patron-klien membuat keberlanjutan program yang pro rakyat serta menekan potensi korupsi, bisa terganggu apabila kepala daerah itu selesai masa jabatannya.
Terkait hal itu, Ketua Pusat Kajian Anti Korupsi, Universitas Gadjah Mada Oce Madril menuturkan, pemberantasan korupsi tidak cukup hanya bertumpu pada kepala daerah. Sistem pencegahan korupsi juga perlu dilembagakan.
Pelembagaan ini bisa dilakukan di daerah, misalnya dengan menyusun peraturan daerah untuk mencegah korupsi. Dengan demikian, sistem pencegahan korupsi akan tetap ada sekalipun kepala daerah tidak lagi menjabat.
Cara lainnya, lanjut Oce, Pemerintah Pusat membuat landasan hukum untuk diaplikasikan di berbagai daerah. Landasan hukum ini dapat dibuat dengan dengan mengadopsi praktik-praktik terbaik yang telah dibuat pemerintah daerah dalam mencegah korupsi, dan menjadikannya sebagai kebijakan nasional.
Pemerintah pusat juga perlu membangun mekanisme pengawasan untuk memastikan landasan hukum itu dijalankan oleh semua pemerintah daerah.
“Pengawas itu bisa dari KPK atau bisa dari inspektorat yang ada di setiap pemerintah daerah. Terkait hal itu, penting untuk membuat inspektorat itu independen, tidak lagi subordinat dari kepala daerah seperti yang berlaku selama ini berlangsung, sehingga fungsi pengawasan oleh inspektorat bisa dijalankan dengan baik,” jelasnya.
Guru besar Institut Pemerintahan Dalam Negeri Djohermansyah Djohan juga mendorong pemerintah pusat membuat proyek percontohan pemerintahan daerah yang baik agar bisa ditiru daerah lain. Tidak hanya eksekutif, tetapi juga legislatif.
Pengajar hukum pidana Universitas Parahyangan Agustinus Pohan menambahkan. pencegahan korupsi tidak cukup jika hanya dilakukan secara sistemik. Namun juga harus melalui perubahan kultur dan cara pikir terhadap perilaku korupsi. Ini karena korupsi di Indonesia, juga dipicu oleh adanya budaya dan mental koruptif.
Terkait hal itu, upaya pencegahan korupsi juga mesti ditarik lebih dini, yaitu dnegan menanamkan budaya antikorupsi di sekolah, Hal itu karena perilaku koruptif sudah dianggap lumrah sejak tingkat sekolah.