Berbicara mengenai kejahatan pencucian uang, ingatan terbawa kepada sindikat mafia Italia di Amerika Serikat (AS) pada 1920-an. Mereka menghasilkan uang dari berbagai tindak kejahatan, seperti pemerasan, perjudian, pelacuran, dan penjualan narkoba. Uang tersebut harus dimanipulasi agar seolah-olah berasal dari usaha legal.
Dalam Handbook of Anti Money Laundering oleh Dennis Cox pada 2014, selain memanfaatkan kelemahan sistem bank, pencucian uang juga dilakukan dengan membeli komoditas bernilai tinggi, seperti lukisan dan barang antik. Bahkan, uang juga dapat diberikan kepada perusahaan-perusahaan sebagai salah satu bentuk pinjaman.
Seiring dengan perkembangan teknologi, pihak penegak hukum semakin lihai mencium jejak pencucian uang. Untuk Indonesia, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) telah menerima sekitar 68 juta laporan transaksi keuangan mencurigakan, laporan keuangan transaksi keuangan tunai, laporan transaksi dari penyedia barang dan jasa, laporan pembawaan uang lintas batas, serta laporan transaksi keuangan dari/ke luar negeri.
Dari laporan-laporan tersebut, telah dihasilkan 4.520 analisis, 2.210 informasi, serta 123 hasil pemeriksaan kepada penegak hukum untuk penyidikan. Kejahatan transaksi keuangan terbanyak terdiri dari korupsi, narkoba, pengemplang pajak, dan penipuan.
Wakil Kepala PPATK Dian Ediana Rae di sela konferensi pers Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) ”Mewujudkan Pilkada dan Pemilu Bebas Politik Uang” di Jakarta, Selasa (18/12/2018), menyebutkan, tidak hanya penegak hukum, pelaku kejahatan juga terus menemukan cara baru untuk melakukan tindak pidana.
Di sejumlah negara, pelaku kejahatan kini melakukan pencucian uang dengan menggunakan kriptokurensi atau mata uang digital. Beruntung, Indonesia tidak melegalkan kriptokurensi sehingga modus itu masih sulit diterapkan.
Kendati demikian, dengan semakin bergeliatnya teknologi digital, potensi terjadinya tindak pidana pencucian uang (TPPU) melalui akun virtual dari perbankan dan perusahaan teknologi finansial (tekfin) mulai diwaspadai di Tanah Air.
TPPU secara digital dapat terjadi melalui mekanisme penggalangan dana (crowdfunding donation). Salah satu metode yang lazim digunakan di Indonesia adalah dengan memublikasikan nomor rekening atau akun virtual di media sosial, pesan singkat, ataupun surat elektronik masyarakat untuk meminta sumbangan. Banyak organisasi masyarakat dengan identitas masih menjadi pertanyaan menggunakan cara ini.
Tidak hanya dengan teknologi, kelicikan pelaku kejahatan juga beradaptasi menghadapi penegak hukum dengan menerapkan strategi konvensional. Salah satunya dengan tidak menggunakan jasa keuangan sehingga tidak bisa terlacak.
Konsultan Senior Division for Applied Social Psychology Research Nasir Abbas menyampaikan, tindak pidana pendanaan terorisme (TPPT) kembali menggunakan uang tunai karena pengawasan transfer uang lintas negara semakin diperketat.
”Orang Indonesia yang bekerja di luar negeri dititipkan uang tunai. Setelah tiba di Indonesia, uang itu diambil kembali,” kata Nasir.
Direktur Pemeriksaan, Riset, dan Pengembangan PPATK Ivan Yustiavandana mengatakan, tujuan pelaksanaan tindak pidana pendanaan terorisme dan TPPU telah bergeser saat ini. Di masa lalu, TPPU bertujuan melegalkan uang kotor. Namun, uang ilegal sekarang juga dimanfaatkan sebagai alat pembiayaan kejahatan lainnya. ”Kami sekarang menghadapi kejahatan berlapis,” ucapnya.
Hal ini dipersulit karena TPPU dan TPPT kini bersifat lintas negara. Setiap negara memiliki yurisdiksi yang berbeda sehingga menjadi tantangan bagi penegak hukum untuk mencegah dan memberantas keduanya.
PPATK dan instansi terkait terus berusaha untuk selangkah lebih maju dari para pelaku kejahatan. Penegak hukum terus membuat berbagai kemungkinan yang ditempuh pelaku TPPU dan TPPT. Bahkan, PPATK memiliki profil rekening yang rentan dengan transaksi mencurigakan untuk dipantau, seperti terduga sindikat narkoba dan pejabat publik.
Tingkatkan pemahaman
Dian melanjutkan, tidak hanya pemanfaatan teknologi dan inovasi strategi yang perlu dilakukan penegak hukum dalam memberantas TPPU dan TPPT. Pemahaman terkait kedua jenis kejahatan tersebut juga perlu diperkuat bagi petugas dari instansi yang terlibat.
”Penanganan TPPU dan TPPT memerlukan koordinasi ketat dari lembaga terkait. Misalnya, analisis yang kurang lengkap bisa saling melengkapi,” katanya. Sayangnya, masih ada penegak hukum yang belum terlalu menguasai duduk perkara TPPU dan TPPT yang begitu kompleks.
Dalam Indeks Persepsi Publik Anti Pencucian Uang dan Pemberantasan Pendanaan Terorisme (IPP APUPPT) Indonesia 2018, IPP APUPPT baru sebesar 5,46 poin pada 2018. Sementara, IPP APUPPT pada 2016 dan 2017 tercatat 5,21 poin dan 5,31 poin. Skala penilaian berkisar dari 0 sampai 10.
Dian berharap indeks tersebut dapat terus meningkat. Pemahaman publik yang baik akan membantu penegak hukum mencegah dan memberantas TPPU dan TPPT.