JAKARTA, KOMPAS— Jalan mencegah perkawinan anak melalui regulasi mulai terbuka, pascaputusan Mahkamah Konstitusi terkait Pasal 7 Ayat 1 Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Selain melaporkan kepada Presiden Joko Widodo, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak secepatnya akan bertemu Dewan Perwakilan Rakyat, untuk membahas putusan Mahkamah Konstitusi yang memerintahkan pembuat undang-undang merevisi UU Perkawinan.
Langkah ini dilakukan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Yohana Susana Yembise, setelah bertemu Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman, Rabu (26/12/2018) di Kantor MK, Jakarta. Perubahan UU Perkawinan mendesak, untuk mencegah praktik-praktik perkawinan anak.
Yohana menyampaikan apresiasi atas putusan MK pada tanggal 13 Desember 2018 lalu. Seperti diberitakan, MK menyatakan Pasal 7 Ayat (1) sepanjang frasa "usia 16 tahun" di UU 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
“Saya menyatakan apresiasi atas putusan MK, ini adalah kado Hari Ibu termasuk kado buat anak-anak Indonesia. Sebab dengan adanya putusan ini semakin mendorong Kementerian PPPA bersemangat dan betul-betul menindaklanjuti putusan ini dengan institusi terkait,” kata Yohana yang didampingi Deputi Tumbuh Kembang Anak Kementerian PPPA Lenny N Rosalin dan Pelaksana Tugas Deputi Perlindungan Anak Sri Danti Anwar.
Yohana memastikan setelah masuk kerja tahun 2019 mendatang, Kementerian PPPA segera bergerak melakukan pendekatan dengan DPR. “Kami akan melakukan pendekatan dengan parlemen sehingga secepatnya kita bisa muncul dengan satu keputusan bersama," ujar dia.
Setelah bertemu Ketua MK, Menteri Yohana juga segera berkoordinasi dengan kementerian/lembaga yang terkait seperti Kementerian Agama, Kementerian Pendidikan dan Kebudayan, Kementerian Kesehatan, kemudian bertemu DPR, sehingga tidak perlu menunggu batas waktu tiga tahun yang diberikan MK untuk perubahan UU Perkawinan.
Lenny menyatakan sejak 2017, Kementerian PPPA gencar melakukan kampanye dan sosialisasi stop perkawinan dengan berbagai kegiatan, termasuk mengintegrasikan pencegahan perkawinan anak melalui kabupaten/kota layak anak.
"Kami juga mengadvokasi kepada sektor pendidikan untuk mendorong wajib belajar 12 tahun dalam kebijakan pendidikan nasional, menyusun strategi nasional pencegahan perkawinan anak yang melibatkan 18 kementerian/lembaga dan 63 lembaga masyarakat,"ujar Lenny.
Putusan MK ibarat lampu hijau
Juru bicara MK Fajar Laksono Soeroso mengatakan, MK berharap putusan itu bisa segera ditindaklanjuti oleh pembuat UU, sebab batasan tiga tahun dalam putusan MK itu bisa lebih cepat.
“Menteri PPPA memandang putusan MK ini seperti lampu hijau setelah sekian lama berjuang untuk batas usia minimal perkawinan itu. Berita baiknya telah ditiupkan oleh MK dengan putusan itu, sehingga mereka gembira sekali, dan secepatnya ingin menindaklanjuti,” katanya.
Uji materi UU Perkawinan itu pun diakui Fajar memakan waktu pemeriksaan dan pembahasan yang cukup panjang, yakni lebih dari 1 tahun sejak perkara itu didaftarkan ke kepaniteraan MK, 20 April 2017. Putusan perkara itu baru dibacakan pada 13 Desember 2018.
MK membutuhkan waktu panjang untuk memutus perkara tersebut, karena dinamika yang kompleks yang harus dipertimbangkan oleh MK, mengingat perkara serupa juga pernah diputus oleh MK tahun 2015. Pada putusan tahun 2015 itu MK tidak mengabulkan permohonan pemohon dalam uji materi UU Perkawinan dalam pokok permohonan yang serupa.
“Ini memang dinamikanya luar biasa. Ada putusan MK tahun 2015 atas uji materi UU Perkawinan, terkait juga dengan batas usia minimal perkawinan. MK menolak permohonan pemohon itu dengan argumentasi soal penentuan batas usia itu merupakan open legal policy atau kebijakan hukum terbuka,” kata Fajar.
Bertolak dari putusan tahun 2015 itu, MK melihat kembali perlunya pengkajian terhadap batas usia minimal perkawinan perempuan. Perjuangan berbagai pihak dan Kementerian PPPA untuk mengubah batas usia minimal perkawinan bagi perempuan itu ditangkap oleh MK.
“Dinamika itu ditangkap oleh MK, sehingga dalam putusannya mempertimbangkan banyak hal, seperti kultur, agama, adat, dan lain-lain. Itulah yang membuat dinamika di dalam MK sendiri perdebatannya sangat sengit. Dibutuhkan berkali-kali rapat permusyawaratan hakim dan penghalusan untuk menghasilkan putusan tersebut. Ini adalah putusan paling lama sepanjang tahun 2017-2018,” kata Fajar.