RAJABASA, KOMPAS — Pesisir pantai barat di Kabupaten Lampung Selatan, Lampung, belum memiliki satu pun tempat evakuasi atau shelter tsunami. Akibatnya, warga kebingungan mencari tempat perlindungan dan evakuasi saat tsunami menerjang pada 22 Desember 2018.
Sebagaimana yang dipantau Kompas di bibir pantai bagian barat Kabupaten Lampung Selatan, Jumat (4/1/2019), tidak ditemukan satu pun tempat evakuasi tsunami. Hal itu dibenarkan Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) I Ketut Sukerta.
”Kami mengakui, kami belum memiliki shelter tsunami,” ujar Ketut ditemui seusai kunjungannya ke posko pengungsian di Desa Waimuli Timur, Kecamatan Rajabasa, Kabupaten Lampung Selatan, Jumat.
Padahal seperti dikutip dari Daerah Potensi Bencana menurut Kecamatan yang terdapat dalam laporan Kabupaten Lampung Selatan dalam Angka 2018 yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) Lampung Selatan, terdapat enam kecamatan yang berbatasan langsung dengan pantai ditandai sebagai daerah rawan bencana tsunami. Enam kecamatan itu adalah Katibung, Kalianda, Rajabasa, Sragi, Ketapang, dan Bakauheni.
Total luas enam kecamatan itu mencapai 685,21 kilometer persegi atau setara dengan 34,2 persen total luas Kabupaten Lampung Selatan, yakni 2.007 kilometer persegi. Adapun total jumlah penduduk enam kecamatan itu pada 2017 mencapai 286.018 jiwa atau setara dengan 28,81 persen dari total penduduk Kabupaten Lampung Selatan yang mencapai 992.763 jiwa.
Ketut mengatakan, pemerintah kabupaten sebetulnya pernah mengusulkan pembuatan shelter itu pada 2013. Namun, karena suatu hal yang tidak ia ketahui, shelter itu belum juga jadi dibangun.
”Saya kurang tahu penyebabnya. Saya juga baru setahun menjabat jadi kepala BPBD di sini,” ujar Ketut.
Mengacu pada tsunami 22 Desember 2018, pihaknya akan mengusulkan untuk pembangunan shelter tsunami. Namun, pihaknya juga belum punya gambaran seperti apa shelter itu akan dibuat. ”Itu nanti kami usulkan ke pusat. Bentuknya seperti apa, ya, nanti kami ikuti pusat,” ujar Ketut.
Tsunami pada 22 Desember 2018 total menewaskan 118 warga Kabupaten Lampung Selatan. Selain itu, tsunami merusak 710 rumah dan membuat 7.868 warga tinggal di pengungsian.
Kebingungan
Tidak adanya shelter tsunami membuat warga bingung harus lari ke mana saat tsunami datang. Hal itu dikemukakan Kepala Desa Waimuli Timur Zamra Ghozali.
”Semua pada lari saja ke sembarangan arah. Kebanyakan lari ke atas bukit, berharap airnya tidak sampai ke atas,” ujar Zamra ditemui di posko pengungsian Desa Waimuli Timur, Jumat.
Namun, setelah sampai di atas, warga pun bingung harus pergi ke mana dan berbuat apa. Mereka harus menanti beberapa jam di atas bukit sampai air surut.
Saat air surut pun mereka bingung, entah harus kembali ke rumah atau bertahan di atas bukit. Di atas bukit pun mereka juga khawatir karena tidak ada tempat berteduh dan kering untuk berlindung.
”Keinginan saya di puncak atas bukit itu ada tempat evakuasi tsunami. Jadi warga kumpul semua di situ. Kan, jadinya lebih mudah untuk mencari dan menghitung anggota keluarganya,” ujar Zamra.
Tsunami menewaskan 32 warga Desa Waimuli Timur. Selain itu, menghancurkan 150 rumah dan membuat 720 orang tinggal dalam pengungsian. Desa Waimuli Timur adalah salah satu dari tiga desa yang terdampak paling parah, selain Desa Waimuli Induk dan Desa Kunjir.