Taiwan Bantah Ada Pelanggaran Program Kuliah-Magang
Oleh
ELSA EMIRIA LEBA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Taiwan meyakini program kuliah magang yang ditawarkan ke negara sahabat menerapkan skema saling menguntungkan bagi kedua belah pihak. Karena itu Taiwan membantah keras adanya dugaan eksploitasi pelajar dalam program tersebut.
Pemimpin Kantor Perdagangan dan Ekonomi Taiwan (TETO) John C Chen dalam konferensi pers di Jakarta, Jumat (4/1/2018), menyampaikan, program itu menguntungkan bagi negara-negara berkembang yang memiliki kelebihan tenaga kerja, tetapi ketersediaan lapangan kerja terbatas.
Selain itu, kapasitas tenaga kerja negara berkembang masih terus ditingkatkan. Taiwan dinilai memiliki fasilitas untuk memberdayakan sumber daya manusia, terutama di bidang sains, teknologi, teknik, dan matematika (STEM). “Di sisi lain, Taiwan juga kekurangan tenaga kerja,” kata Chen.
Taiwan memiliki program Industrial Academia Collaboration. Program ini menawarkan pelajar untuk mengikuti kegiatan perkuliahan dan pemagangan di universitas yang telah diseleksi. Mahasiswa akan memiliki kesempatan untuk bekerja di industri sesuai
Ini adalah program legal dibawah Kebijakan Selatan Baru (New Southbound Policy/NSP) Taiwan. NSP merupakan kebijakan pertukaran pengetahuan di sejumlah bidang, seperti pertanian, pendidikan, perikanan, kebudayaan, pariwisata, perdagangan, dan teknologi informasi ke negara ASEAN, Australia, Selandia Baru, dan India.
Berdasarkan data TETO, sebanyak 33 universitas mengikuti program tersebut. Dua angkatan pelajar Indonesia telah dikirim, yakni sebanyak 872 orang pada 2017 dan 1.231 orang pada 2018.
Direktur Pengelolaan Kekayaan Intelektual Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi Sadjuga menilai, kerja sama kuliah dan magang lintas negara saling menguntungkan kedua negara. “Mekanisme belajar dan bekerja perlu dipantau agar tidak terjadi eksploitasi. Tetapi, jangan dicari-cari kekurangannya saja sehingga mengurangi kesempatan orang yang ingin bekerja sambil belajar di luar negeri,” tuturnya.
Ia melanjutkan, kuliah di bidang teknik perlu mempraktekkan ilmu yang diperoleh. Oleh sebab itu, mahasiswa perlu bekerja di industri dalam program magang.
Kendati demikian, belakangan beredar kabar terjadi pelanggaran aturan jam kerja pada mahasiswa Indonesia yang mengikuti program tersebut. Dikutip dari Taiwan News, sebanyak 300 dipekerjakan di sebuah pabrik lensa kontak selama 40 jam per minggu.
Sementara Kementerian Pendidikan Taiwan melarang mahasiswa tahun pertama untuk melakukan pemagangan. Setelah tahun pertama, mahasiswa tidak boleh bekerja lebih dari 20 jam per minggu berdasarkan undang-undang ketenagakerjaan di Taiwan.
Bantah keras
Chen membantah keras kabar tersebut. Pihaknya telah menyelidiki dan tidak menemukan hal ilegal. Kantor Dagang Ekonomi Indonesia (KDEI ) di Taipei juga telah melakukan investigasi.
Pasalnya, Kementerian Pendidikan Taiwan dinyatakan telah memonitor secara berkala program kuliah magang itu sejak 2017. Ada penalti jika terjadi pelanggaran, yaitu pencabutan izin untuk mengikuti program kuliah magang dan universitas yang melakukan aktivitas ilegal akan dituntut.
Menurut Chen, mahasiswa tahun pertama tidak boleh magang. Namun, diperbolehkan bekerja paruh waktu untuk biaya hidup. Adapun sejumlah universitas juga memberikan beasiswa pada tahun pertama.
“Mereka mulai magang pada tahun kedua selama 20 jam per minggu. Mereka boleh untuk mengambil pekerjaan paruh waktu maksimal 20 jam per minggu,” tuturnya. Dengan demikian, jumlah kerja maksimum yang dapat diambil mahasiswa adalah 40 jam per minggu.
Secara total, mahasiswa magang selama empat hari, kuliah dua hari, dan libur satu hari. Pemagangan tersebut dihitung sebagai bagian dari perkuliahan. Mereka dibayar sebesar 23.000 dollar Taiwan Baru atau Rp 10,6 juta per bulan.
Presiden Asosiasi Alumni National Taiwan University Indonesia Josua Andreas menambahkan, merupakan hal yang wajar bagi mahasiswa diaspora untuk bekerja di luar negeri. Upah yang ditawarkan cukup menggiurkan bagi ukuran pelajar.
Tetap dihentikan
Juru bicara Kementerian Luar Negeri Arrmanatha Nasir mengatakan, pemerintah Indonesia tetap memutuskan menghentikan perekrutan dan pengiriman pelajar Indonesia hingga mekanisme program menjadi lebih jelas.
“Direktur Jenderal Pembelajaran dan Kemahasiswaan Kemenristekdikti mengatakan pengiriman dihentikan sementara,” kata Arrmanatha.