Kasus Korupsi Terbanyak Dilakukan Legislatif dan Swasta
Oleh
Hendriyo Widi
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sebanyak 915 kasus korupsi ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi sejak dua tahun Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi disahkan. Hingga 2018, kasus korupsi paling banyak dilakukan pemegang jabatan di legislatif dan swasta.
Berdasarkan data Anti-Corruption Clearing House (ACCH) di bawah KPK, sebanyak 229 kasus dilakukan DPR dan DPRD dalam periode 15 tahun. Diikuti pihak swasta yang tercatat melakukan 214 kasus.
Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW), Adnan Topan, mengatakan, secara teori, ini merupakan gejala umum yang hadir di negara yang baru mengadopsi pemerintahan demokratis. ”Di Indonesia, rezim sebelumnya melakukan korupsi secara terkendali dan terpusat. Saat kekuasaan dilimpahkan ke berbagai lapisan pemerintahan, penyimpangan tidak bisa dihindari,” tuturnya kepada Kompas, Rabu.
Sistem demokrasi membuat legislatif, seperti DPR dan DPRD, punya kewenangan baru yang tidak dimiliki sebelumnya. Kewenangan legislatif untuk mengatur, memberi izin, dan merekomendasikan kebijakan bisa digunakan untuk mendapatkan sesuatu dengan suap atau upaya koruptif lainnya.
Politik uang
Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana mengatakan, sistem demokrasi saat ini banyak diatur politik uang. ”Ini tidak hanya terjadi di negara berkembang seperti Indonesia, tetapi juga di negara yang sudah mapan demokrasinya,” katanya.
Politik uang mendorong adanya motivasi untuk mendapatkan return of investment atau upaya untuk mendapatkan hasil dari uang yang didapatkan untuk memiliki suatu jabatan.
Reformasi partai
Pengawasan terhadap legislatif yang lemah juga dinilai meningkatkan peluang korupsi. Reformasi di dalam partai politik diperlukan untuk menekan tindak korupsi hingga ke pejabat legislatif.
”Mekanisme kendali legislatif diserahkan kepada partai politik. Sementara partai juga punya masalahnya sendiri,” kata Adnan.
Adapun permasalahan di partai hadir dalam berbagai bentuk, seperti nepotisme, minimnya transparasi, hingga proses perekrutan kader yang cenderung menempatkan orang-orang yang memiliki uang dan kedekatan dengan petinggi partai.
Permasalahan di partai hadir dalam berbagai bentuk, seperti nepotisme, minimnya transparasi, hingga proses perekrutn kader yang cenderung menempatkan orang-orang yang memiliki uang dan kedekatan dengan petinggi partai.
”Keputusan pemerintah bisa diintervensi karena partai menentukan sirkulasi elite mereka di pos-pos penting di pemerintahan,” ujarnya.
Revisi UU Tipikor
Terkait tingginya tindak korupsi di kalangan swasta, Adnan melihat, ini muncul karena swasta banyak berinteraksi dengan pemerintah dalam hal perizinan, pengadaan proyek, atau penyediaan layanan publik.
”Dalam aturan perundang-undangan saat ini, tindak korupsi oleh swasta baru bisa ditindak jika berkenaan dengan penyelewengan kewenangan yang dilakukan pejabat publik,” ujarnya.
Adnan menambahkan, Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) belum bisa menyentuh perkara baik di internal maupun antarpihak swasta. Ini yang kemudian membuat KPK meminta UU Tipikor diperbaiki, yaitu dengan mengadopsi prinsip yang diatur United Nations Convention Against Corruption (UNCAC).
Saat ini, Indonesia, bersama 186 negara lainnya, berkomitmen kepada Konvensi Anti-Korupsi PBB. Ini diwujudkan dengan meratifikasi UNCAC melalui UU No 7/2006.
Dikutip dari laman KPK, UNCAC memberi panduan dalam melaksanakan pemberantasan korupsi, mulai dari pencegahan, perumusan jenis-jenis kejahatan yang termasuk korupsi, proses penegakan hukum, hingga mekanisme pemulihan aset terutama yang bersifat lintas negara. (ERIKA KURNIA)