Mimpi Rakyat Akan HAM dan Antikorupsi
Mimpi rakyat tentang pemberantasan korupsi dan penegakan hak asasi manusia tampaknya harus terus diperpanjang. Tak ada pasangan calon presiden dan wakil presiden yang memiliki program nyata terkait dua isu ini.
Pemilu adalah cara dalam demokrasi untuk menghasilkan pejabat eksekutif dan legislatif yang akan bekerja sekuat tenaga demi mencapai tujuan bersama sebagai bangsa. Tujuan bangsa Indonesia, sekadar menyegarkan ingatan, adalah masyarakat yang adil dan makmur.
Hal ini hanya mungkin terwujud apabila ada upaya serius dalam pemberantasan korupsi, penegakan hak asasi manusia, perbaikan lingkungan, peningkatan pendidikan, pengurangan kemiskinan, dan semua kerja demi tercapainya hal-hal baik untuk bangsa. Ini menjadi agenda bersama bangsa.
Namun, para elite sepertinya sibuk dengan perseteruannya sendiri sehingga lupa agenda-agenda bersama. Pemberantasan korupsi dan penegakan hak asasi manusia, misalnya, minim dibahas calon presiden dan wakil presiden pada Pemilu 2019 ataupun pendukungnya. Padahal, korupsi sekecil apa pun adalah kejahatan yang merusak sistem masyarakat yang makmur, sedangkan pelanggaran HAM adalah wujud ketidakadilan negara terhadap rakyatnya.
Upaya mengangkat wacana ini muncul di antaranya dalam dialog Satu Meja, The Forum, Rabu (9/1/2019), bertajuk ”Debat HAM dan Korupsi, Siapa Unggul?” di Kompas TV. Dengan dipandu Wakil Pemimpin Umum Harian Kompas Budiman Tanuredjo, hadir beberapa pembicara, antara lain akademisi dan Ketua Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Zainal Arifin Mochtar dan Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid.
Dari Tim Kampanye Nasional (TKN) Joko Widodo-Ma’ruf Amin hadir Arteria Dahlan dan Mukhamad Misbakhun. Sementara Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo Subianto-Sandiaga Uno diwakili Hinca Panjaitan dan Supratman Andi Agtas.
Pemberantasan korupsi
Rakyat bermimpi pemilu menghasilkan para pemimpin yang mampu mengikis korupsi di negeri ini dan mendistribusikan kesejahteraan. Untuk itu, pemberantasan korupsi harus menjadi agenda utama setiap pemimpin, baik dalam legislatif maupun eksekutif.
Namun, kenyataannya, teror terhadap tokoh-tokoh yang bergerak di bidang pemberantasan korupsi masih terjadi. Hal ini memicu pertanyaan tentang perlindungan terhadap para pengungkap korupsi. Setelah kasus penyiraman air keras terhadap penyidik senior Komisi Pemberantasan Korupsi, Novel Baswedan, pada April 2017, teror bom dialami pimpinan KPK, Agus Rahardjo dan Laode M Syarif.
Teror-teror ini memperkuat hasil riset Transparency International Indonesia (2017) yang menyebutkan bahwa selama lebih dari satu dekade terakhir, intensitas dan kualitas serangan balik terhadap para pengungkap korupsi kian sistematis.
Usman Hamid menyoroti lemahnya komitmen pemberantasan korupsi yang di antaranya terlihat dari tidak adanya upaya pemerintah untuk melindungi Antasari Azhar yang dikriminalisasi dan Novel Baswedan. Hal ini tentu segera disambut Hinca Panjaitan dari BPN Prabowo-Sandiaga yang menyatakan Presiden Joko Widodo seharusnya segera tampil untuk menunjukkan tindakan pemerintah. Sementara Arteria Dahlan menyatakan partainya, PDI-P, di DPR terus mendorong penyelesaian kasus Novel. Namun, ia menggarisbawahi bahwa pemerintah tak ingin mengintervensi penegak hukum.
Saat ditanya tentang visi dan misi calon presiden dan wakil presidennya, Misbakhun mengatakan, upaya pemberantasan korupsi tidak bisa dilihat dari kasus per kasus atau insiden yang terjadi. Menurut dia, Jokowi mengupayakan pencegahan korupsi, seperti dibuatnya sistem anggaran elektronik dan katalog elektronik.
”Sudah ada juga saber pungli untuk yang di luar KPK, perbaikan di pelabuhan dan jembatan timbang untuk mencegah korupsi di tingkat bawah,” ujar Misbakhun.
Untuk menjawab pertanyaan yang sama, Hinca mengatakan, pihak Prabowo-Sandi memiliki program aksi untuk memberantas korupsi secara sistematis dan tanpa intervensi. Ini antara lain dilakukan dengan edukasi antikorupsi, sistem pendanaan lebih independen, dan gerakan kolektif masyarakat.
Menanggapi hal itu, Usman mempertanyakan rekam jejak partai-partai, baik oposisi maupun pro-pemerintah, yang tercatat beberapa kali melakukan pelemahan KPK. ”Kedua belah pihak belum ada komitmen yang jelas. Lihat saja produk-produk undang-undang yang cenderung melemahkan KPK,” kata Usman.
Penegakan HAM
Di bidang HAM, upaya pengungkapan kasus-kasus pelanggaran HAM berat sudah lebih dari 10 tahun tak kunjung tuntas. Sebut saja deretan perkara Peristiwa 1965-1966; Talangsari, Lampung, tahun 1989; penembakan misterius 1982-1985; Trisakti, Semanggi I, dan Semanggi II; kerusuhan Mei 1998; penghilangan orang secara paksa 1997-1998; kasus Wasior dan Wamena; peristiwa Simpang KAA 3 Mei 1999 di Provinsi Aceh serta Rumah Geudong dan Pos Sattis lainnya di Provinsi Aceh.
Perkembangan terakhir, Kejaksaan Agung mengembalikan sembilan berkas penyelidikan yang dilakukan Komisi Nasional HAM.
”Tanggal 27 November 2018 kemarin mereka (Kejagung) mengirimkan ke kami dengan catatan yang tidak ada kemajuan mendasar. Tidak ada penyidikan. Hanya menyuruh Komnas HAM melakukan sesuatu yang di luar kewenangan Komnas HAM. Itu hasilnya setelah empat tahun,” kata Amiruddin, komisioner Pemantauan dan Penyelidikan Komnas HAM.
Saat ditanya apa yang akan dilakukan Prabowo untuk menyelesaikan kasus-kasus HAM yang belum tuntas, Supratman mengatakan, Prabowo akan mengadakan pengadilan HAM dan penyelesaian rekonsiliasi, misalnya lewat Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Sementara Arteria mengemukakan, pemerintahan Jokowi pada masa jabatan yang kedua akan menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat tanpa melukai anak bangsa yang lain.
”Kita akan menyelesaikan secara berkeadilan,” kata Arteria.
Zainal mencatat, dalam 21 tahun sejak masa presiden Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri, dan Susilo Bambang Yudhoyono, tidak ada yang menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu. Menurut Usman, hal itu disebabkan kekuatan oligarki dalam politik Indonesia memang tidak memiliki kepentingan atau ketertarikan menyelesaikan. Para pelaku pelanggaran HAM tidak saja duduk dalam kekuasaan, tetapi juga menguasai partai politik.
Tampaknya, rakyat masih harus bermimpi lagi tentang penuntasan kasus pelanggaran HAM.