Kepercayaan Publik Menjadi Modal KPU
Munculnya kasus-kasus pemilu yang menyorot kinerja Komisi Pemilihan Umum tidak serta-merta menggerus kepercayaan publik terhadap lembaga penyelenggara pemilu tersebut. Memperkuat relasi yang baik antara KPU dan publik mesti menjadi agenda untuk menjaga kualitas pemilu.
Hal itu menjadi intisari temuan jajak pendapat Kompas pada pekan lalu yang merespons kasus-kasus yang terjadi dalam sebulan terakhir, khususnya terkait pelaksanaan tahapan penyelenggaraan Pemilu 2019. Secara umum, publik tak mudah terpancing oleh isu-isu yang menjadikan KPU sebagai pihak yang paling disorot dalam kasus-kasus itu. Meski demikian, harus diakui, tidak sedikit masyarakat yang meyakini sorotan-sorotan negatif terhadap lembaga penyelenggara pemilu itu benar adanya.
Setidaknya ada lima kasus yang menyebar secara masif melalui media sosial terkait pemilu dan kemudian melahirkan sorotan negatif kepada KPU. Pertama, terkait polemik 31 juta penduduk sebagai data siluman yang dicurigai berpotensi menggelembungkan daftar pemilih tetap Pemilu 2019. Tuduhan ini lalu diklarifikasi KPU dengan penjelasan angka 31 juta itu belum sinkron dengan daftar pemilih tetap hasil perbaikan. Meski 63,4 persen responden jajak pendapat tak percaya dengan adanya data siluman ini, sebanyak 23 persen responden lain justru memercayainya.
Kemudian muncul lagi di media sosial isu soal orang dengan gangguan kejiwaan yang boleh memilih. Isu ini muncul disertai viralnya foto yang menampilkan simulasi orang sakit jiwa menggunakan hak pilihnya. KPU menjelaskan foto itu hoaks.
Soal isu ini, KPU sebenarnya mengakomodasi hak pilih bagi penyandang disabilitas mental atau gangguan jiwa yang notabene untuk mematuhi putusan Mahkamah Konstitusi. Khusus untuk disabilitas mental tetap didaftar sebagai pemilih. Namun, penggunaan hak pilih disesuaikan dengan kondisi calon pemilih pada hari pemungutan suara berdasarkan rekomendasi dokter yang merawatnya. Jika pada hari-H yang bersangkutan dalam kondisi tidak sakit jiwa, boleh menggunakan hak pilihnya, demikian sebaliknya. Terhadap isu ini, sebanyak 26,6 persen responden percaya orang sakit jiwa boleh langsung memilih.
Lain lagi dengan isu kotak suara dari kardus/karton kedap air yang relatif membuat opini publik terbelah. Separuh lebih responden percaya kotak suara itu tidak aman dan cenderung rentan terjadi penyelewengan surat suara. Sementara 45,2 persen responden lainnya malah tak percaya KPU secara sengaja memilih kotak suara yang rentan dan memicu pelanggaran. KPU menjelaskan soal daya tahan kotak suara berbahan kardus/karton kedap air itu yang bisa diduduki, diinjak, bahkan digunakan untuk mengangkat tubuh seseorang. Langkah ini untuk menangkis tuduhan yang berkembang soal kotak suara tersebut. Namun, upaya ini tidak mampu mengubah persepsi negatif soal kotak suara tersebut.
Isu lain yang kemudian membuat KPU mengambil langkah hukum dengan melaporkan pelaku penyebar hoaks adalah informasi soal tujuh kontainer dari China berisi jutaan surat suara yang sudah dicoblos. KPU memastikan informasi itu bohong karena surat suara belum dicetak ketika isu ini diembuskan. Pantauan KPU di lapangan pun tak menemukan tujuh kontainer berisi surat suara yang tercoblos tersebut. Namun, isu ini sudah viral dan menambah sorotan tajam pada KPU. Meski demikian, penjelasan KPU relatif bisa diterima publik karena hanya kurang dari seperlima responden yang memercayai isi berita bohong itu.
Terakhir, isu soal bocoran soal atau kisi-kisi debat yang juga viral di media sosial, yang lagi-lagi membuat KPU disorot negatif. Untuk isu ini, 30 persen responden memercayai anggapan negatif yang muncul di media sosial terkait bocoran soal debat ini. Persentase responden yang percaya isu negatif terkait bocoran kisi-kisi soal debat ini tercatat paling tinggi setelah isu kotak suara dari kardus/karton kedap air.
Media sosial
Mudahnya publik percaya dengan isu-isu negatif yang menjadi viral terkait pemilu tak lepas dari fenomena perkembangan penggunaan media sosial. Berdasarkan catatan Kementerian Komunikasi dan Informatika, sepanjang Agustus-Desember 2018, setidaknya ada 62 berita bohong atau hoaks yang beredar melalui media sosial terkait pemilu. Selain isu-isu yang menjadi viral di atas, sejumlah hoaks lainnya umumnya terkait agenda masa kampanye Pemilu 2019. Bentuknya dari pemutarbalikan fakta dan berita sampai manipulasi foto dan video.
Kondisi ini semakin menguatkan sinyalemen bahwa media sosial menjadi kanal yang mudah dimanfaatkan untuk menyebarkan hoaks terkait pemilu. Tidak heran jika kemudian angka tertinggi yang percaya dengan hoaks terkait pemilu ini lebih banyak ditemukan di kelompok pengguna media sosial dibandingkan media lain, seperti televisi, radio, koran, dan berita daring. Hasil jajak pendapat Kompas merekam responden pengguna media sosial lebih gampang percaya dengan informasi-informasi bohong atau hoaks pemilu.
Lihat saja dari isu soal 31 juta suara siluman di data pemilih. Dari kelompok responden pengguna media sosial, sebanyak 27 persen percaya dengan isu ini. Dibandingkan kelompok responden dari pengguna media lain, angka itu paling tinggi. Hal yang sama dijumpai pada isu orang dengan gangguan jiwa boleh memilih. Sebanyak 32,9 persen responden di kelompok pengguna media sosial percaya kelompok warga ini boleh memilih. Angka ini lebih tinggi dibandingkan kelompok responden pengguna di luar media sosial. Kondisi tak jauh berbeda juga ditemukan pada isu kotak suara kardus/karton kedap air. Pada isu ini, jumlah responden dari kelompok pengguna media sosial yang memercayainya lebih tinggi dibandingkan isu lain, yaitu mencapai 60 persen. Upaya KPU menyebarkan video pengujian kekuatan kotak suara dengan disiram air dan diberi beban tubuh orang dewasa untuk membuktikan kekuatan kotak suara tersebut tak berpengaruh terhadap keyakinan kelompok responden ini.
Pada isu bocoran soal debat pun demikian. Lagi-lagi respons pengguna media sosial lebih tinggi yang percaya isu negatif ini dibandingkan responden dari kelompok pengguna nonmedia sosial. Sebanyak 37,1 persen responden pengguna media sosial percaya, upaya KPU membagikan kisi-kisi soal sebelum debat dilakukan sebagai isu yang negatif dan menggerus citra lembaga itu. Sementara dibandingkan isu-isu di atas, isu jutaan surat suara yang sudah tercoblos di kontainer di mata responden pengguna media sosial lebih rendah tingkat kepercayaannya. Hanya 12,9 persen responden yang percaya dengan isu ini, lebih rendah dibandingkan kelompok responden penonton televisi dan pembaca berita koran. Hal ini kemungkinan terjadi terkait cepatnya reaksi KPU menangkal isu itu.
Komunikasi
Dari data di atas terlihat bahwa reaksi publik terkait isu pemilu, terutama di kalangan warganet, bergantung pada sejauh mana KPU mampu menangkal hoaks dengan cepat dan tepat. Sayang, penilaian publik untuk hal ini terbelah. Sebanyak 45 persen responden menyatakan langkah KPU belum baik dalam menangkal hoaks.
Meskipun demikian, secara umum KPU tak perlu khawatir dengan berita hoaks. Ini karena kepercayaan publik kepada KPU masih besar. Hasil jajak pendapat ini, 72,9 persen responden meyakini KPU bekerja profesional dan independen, bahkan sejauh ini dinilai sudah memperlakukan peserta pemilu dengan adil dan setara, menyelenggarakan tahapan pemilu sesuai jadwal, dan menyampaikan informasi kepada publik dengan cukup baik.
Apresiasi ini adalah potret kepercayaan publik terhadap KPU. Modal sosial ini penting bagi KPU untuk semakin meneguhkan netralitas dan integritasnya guna melahirkan pemilu yang berkualitas.