Bantuan Sosial Dorong Kesejahteraan, tetapi Belum Optimal
JAKARTA, KOMPAS — Program Keluarga Harapan dinilai mampu meningkatkan kesejahteraan Keluarga Penerima Manfaat di RT 014 RW 004 Kelurahan Kampung Rawa, Kecamatan Johar Baru, Jakarta Pusat. Meski begitu, masih ada beberapa keluarga prasejahtera yang tidak menjadi Keluarga Penerima Manfaat.
Program Keluarga Harapan (PKH) merupakan salah satu upaya pemerintah untuk mempercepat penanggulangan kemiskinan dengan pemberian bantuan kepada Keluarga Penerima Manfaat (KPM). Para KPM didorong untuk memiliki akses dan memanfaatkan pelayanan sosial dasar kesehatan, pendidikan, pangan dan gizi, perawatan, serta pendampingan untuk meningkatkan kualitas kehidupannya.
Merujuk Surat Keputusan Direktur Jenderal Perlindungan dan Jaminan Sosial Nomor 26/LJS/12/2016 tanggal 27 Desember 2016 tentang Indeks dan Komponen Bantuan Sosial Program Keluarga Harapan, ada empat jenis bantuan yang diberikan pemerintah.
Untuk Bantuan Sosial PKH, sejumlah Rp 1.890.000, Bantuan Lanjut Usia Rp 2 juta, Bantuan Penyandang Disabilitas Rp 2 juta, dan Bantuan Wilayah Papua dan Papua Barat Rp 2 juta.
Baca juga: Pendamping Program Keluarga Harapan Diminta Jadi Pemersatu Bangsa
Berdasarkan pantauan Kompas, Selasa (15/1/2019) di Kelurahan Kampung Rawa, mayoritas dari KPM tinggal di rumah-rumah semipermanen berukuran 3 meter x 4 meter. Rumah-rumah itu dibuat tingkat dua hingga tiga. Setiap rumah bisa ditinggali 2 sampai 3 keluarga. jika diperhatikan, hampir tak ada sekat antara rumah satu dan lainnya. Jalanan yang ada memiliki lebar sekitar 1 meter, hanya cukup untuk lewat satu buah sepeda motor.
Mayoritas KPM di lingkungan tersebut bekerja sebagai buruh cuci, petugas kebersihan, dan pedagang. Penghasilan mereka rata-rata Rp 2 juta-Rp 3 juta per bulan. Uang itu dibagi-bagi untuk membeli bahan pangan dan biaya sekolah anak-anak mereka.
Mayoritas Keluarga Penerima Manfaat tinggal di rumah-rumah semipermanen berukuran 3 meter x 4 meter.
Salah seorang KPM, Eti Suheti (52), mengatakan, semenjak mendapatkan Bantuan Pangan Non-Tunai (BPNT), Jaminan Sosial Kartu Indonesia Sehat, dan Kartu Indonesia Pintar dari PKH, kesejahteraan keluarganya meningkat.
”Dulu tidak pernah berpikir soal gizi, yang penting bisa makan saja sudah sangat bersyukur. Sekarang setiap bulan sudah bisa membeli telur, susu, dan daging dengan dana bantuan,” ujar Eti.
Di dalam rumah semipermanen tingkat dua, dengan ukuran 3 meter x 4 meter, Eti tinggal bersama suami, dua anak perempuannya, dan dua cucunya di lantai satu. Sementara itu, di lantai dua, ada dua keluarga lain yang tinggal.
Eti mengaku tak nyaman tinggal di tempat tersebut. Namun, penghasilan Eti dan suaminya sebagai pemulung hanya cukup untuk membeli makan sehari-hari dan membeli susu untuk dua cucunya yang masih kecil.
KPM lainnya, Yuli (42), juga merasa terbantu dengan adanya bantuan sosial dari PKH. Tak hanya menerima bantuan dari PKH, Yuli juga merupakan pemegang Kartu Jakarta Pintar. Karena itu, ia merasa beban pembiayaan sekolah untuk kedua anaknya menjadi lebih ringan.
”Sangat terbantu dengan program bantuan dari pemerintah. Kalau mengandalkan dari pendapatan sehari-hari saya rasa akan sulit. Uang untuk makan saja belum tentu dapat, bagaimana bisa mikir untuk sekolah anak,” kata Yuli.
Tidak tepat sasaran
Berdasarkan keterangan salah satu KPM sekaligus anggota Elektronik Warung Gotong Royong Kelompok Usaha Bersama Program Keluarga Harapan (e-Warong KUBE PKH), Hairiah (44), masih ada beberapa keluarga prasejahtera yang belum menjadi KPM.
Sementara itu, keluarga yang sudah berhasil meningkatkan kesejahteraannya masih terus menerima semua program bantuan PKH. Menurut Hairiah, hal itu terjadi karena belum ada lagi pembaruan data.
Keluarga Hairiah adalah keluarga sejahtera yang sudah seharusnya tidak menerima bantuan. Namun, hingga kini masih terus menerima bantuan. Hairiah pertama kali menerima bantuan pada 2016. Kala itu, ia dan suaminya belum memiliki dua toko optik seperti saat ini. Dulu ia adalah pramuniaga toko, sementara suaminya pedagang.
Selain memiliki dua toko optik, kini Hairiah memiliki sebuah mobil dan dua sepeda motor. Kesulitan membeli makanan yang sehat dan bernutrisi hingga kini tak pernah lagi dialami keluarganya.
Hairiah mengatakan, keluarganya bukan satu-satunya KPM yang seharusnya tidak menerima bantuan. Masih ada belasan keluarga mampu lainnya yang menerima bantuan. Padahal, menurut dia, di sekitar tempat tinggalnya masih banyak yang lebih berhak untuk mendapatkan bantuan tersebut.
”Di sekitar sini banyak janda yang tidak bekerja, sementara mereka harus membayar biaya sekolah dan kehidupan sehari-hari keluarganya. Harusnya mereka yang dapat, tapi di catatan yang ada di kelurahan mereka tidak tercantum,” tutur Hairiah.
Salah satu warga RT 017 RW 004, Nina (49), adalah seorang janda dengan empat anak yang dua di antaranya masih bersekolah di sekolah dasar dan sekolah menengah pertama.
Untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari keluarganya, ia berjualan nasi uduk dan mengandalkan hasil kerja anak pertamanya sebagai pengojek daring. Nina berharap bisa mendapatkan bantuan sama seperti keluarga prasejahtera lainnya agar beban yang ditanggung keluarganya bisa lebih ringan.
Dihubungi dari Jakarta, Selasa, peneliti Ecosoc Rights Institute, Sri Palupi, mengatakan, kejadian penyaluran bantuan yang tidak tepat sasaran terjadi tidak hanya di Jakarta, tetapi hampir di seluruh wilayah. Menurut Sri, ada persoalan mendasar terkait validitas data kemiskinan yang akhirnya bisa merambat ke permasalahan lain.
”Dari dulu kita selalu punya masalah dengan data kemiskinan. Kalau data kemiskinan itu sudah dibenahi pasti persoalan lain bisa dicegah,” ujar Sri.
Menurut Sri, masalah lain yang timbul adalah ketimpangan jumlah orang miskin dengan jumlah penerima bantuan. Aparat pemerintah di tingkat rendah biasanya akan menjadi sasaran protes dari warga karena ketimpangan ini. Sebab, aparat paling dekat misalnya ketua RT, ketua RW, dan lurah adalah orang-orang yang menentukan siapa saja yang mereka anggap layak untuk menerima bantuan.
Sri menyarankan aparat pemerintah, pendamping, tokoh masyarakat, dan pihak-pihak terkiat lainnya ikut terlibat dalam pendataan keluarga miskin. Dengan demikian, penyaluran bantuan bisa tepat sasaran.
Pengawasan dan evaluasi secara bertahap juga perlu dilakukan untuk mengetahui seberapa efektif bantuan tersebut mampu menaikkan tingkat kesejahteraan masyarakat. Dua hal ini, menurut Sri, juga sering kali tidak dilakukan pemerintah.
Salah satu parameter penentu keberhasilan sebuah program pemberian bantuan, dikatakan oleh Sri, dapat dilihat dari hasil evaluasi dan seberapa tepat sasaran bantuan tersebut disalurkan. (Kristi Dwi Utami)