Gelar Aksi Massa, Pengemudi Ojek Daring Tuntut Tarif yang Manusiawi
Oleh
M Fajar Marta
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Para pengemudi dalam jaringan atau daring dari dua aplikator yakni Go-Jek dan Grab menggelar aksi menuntut tarif yang lebih adil dan kesetaraan sebagai mitra dari perusahaan aplikasi. Mereka berharap aspirasi mereka diakomodasi oleh tim penyusun peraturan menteri tentang aturan ojek daring yang mulai bekerja pada Selasa (15/1/2019).
Para pengojek daring berpawai menuju pintu Monumen Nasional (Monas) di Jalan Medan Merdeka Barat pada Selasa siang. Para organisator mengklaim aksi massa diikuti 1.500 orang.
Mereka berasal dari berbagai aliansi pengojek daring yang tersebar di Jakarta dan sekitarnya. Jaket aplikator dirangkap dengan rompi berlogo komunitas. Bendera-bendera berlogo komunitas pun dikibarkan.
Ketua Masyarakat Ojek Online Seluruh Indonesia (Moosi) Dani Stephanus (50) mengatakan, para pengojek masih menuntut hal sama, antara lain tarif dan kesetaraan sebagai mitra. Tarif harus dibuat lebih manusiawi dengan memperhitungkan biaya bensin, perawatan sepeda motor, dan tenaga fisik pengojek. Selain itu, perlu moratorium penerimaan pengojek untuk menjaga tarif tidak turun terus.
”Aplikator mengukurnya dari supply and demand serta perhitungan algoritma. Dulu dengan tarif Rp 4.000 per kilometer, kami bisa bawa pulang Rp 400.000 per hari. Sekarang tarif cuma Rp 1.300. Sehari cuma dapat Rp 150.000, belum dipotong bensin dan bagi hasil. Ini enggak manusiwai sehingga pemerintah harus turun tangan,” kata Dani yang bergabung di Grab sejak 2016.
Tarif mesti dibuat lebih manusiawi dengan memperhitungkan biaya bensin, perawatan sepeda motor, dan tenaga fisik pengojek.
Selain itu, kata Dani, perjanjian kemitraan tidak seimbang. Jika diberi satu bintang oleh pelanggan, pengojek dapat diberhentikan secara sepihak. Kemitraan juga membuat aplikator tidak terikat Undang-Undang Nomor 13/2003 tentang Ketenagakerjaan ataupun UU Nomor 22/2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ).
Terkait pajak, Dani mengeluhkan pengenaan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 yang mencapai Rp 900.000. ”Padahal, kini penghasilan kami di bawah UMR (upah minimum regional), cuma Rp 3 juta-an. Lha, aplikator enggak kena pajak,” ujar Dani.
Iwan (39), mitra Go-Jek sejak 2016 sekaligus pendiri komunitas 5BC, mengatakan, penghasilannya kini hanya dari konsumen. Itu pun masih dipotong bagi hasil sebesar 20 persen. Sehari, ia bisa mengumpulkan 18 poin dari 18 perjalanan yang dapat dicairkan menjadi bonus sebesar Rp 36.000. ”Kecil, kan? Mereka (aplikator) tambah jaya, kami sengsara,” ujarnya.
Meski demikian, Iwan tetap mendapatkan jaminan keselamatan kerja dari Go-Jek berupa kartu BPJS. Iurannya dipotong dari dompet virtual yang disebutnya rekening ponsel. Jika mengalami kecelakaan, ia dapat mengklaim ganti rugi dari aplikatornya. Hal ini berbeda dengan Sariaman, pengojek Grab, yang tidak mendapat jaminan keselamatan kerja apa pun.
Menanggapi hal ini, Vice President of Corporate Communications Go-Jek Michael Reza Say mengatakan, Go-Jek menghormati aspirasi para pengemudi. Ia berjanji perusahaannya akan mengupayakan yang terbaik demi kesejahteraan mitra, kepuasan pelanggan, dan keberlanjutan bisnis. ”Kami akan terus berkomunikasi dengan penerintah dan perwakilan mitra pengemudi dalam penyusunan regulasi ojek online,” kata Reza.
Mulai kerja
Direktur Jenderal Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan (Kemenhub) Budi Setiyadi menagaku heran dengan aksi yang digelar. ”Dari awal kami sudah bilang, percayakan kepada pemerintah. Hari ini tim penyusun peraturan menteri juga sudah mulai bekerja,” katanya.
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo dan Menhub Budi Karya Sumadi telah bersilaturahmi dengan para pengojek daring, Sabtu (12/1/2019). Fokus pembahasan peraturan menteri juga telah diperluas ke aspek kemitraan sebagaimana diusulkan para pengojek. Adapun tiga hal lain yang dibahas adalah keselamatan, tarif, dan pemberhentian.
Budi mengatakan, rapat yang digelar di Hotel Alila, Gambir, Jakarta Pusat, itu dimulai tahap pendahuluan dan pertimbangan mengenai ojek daring sebagai angkutan umum. Ke depan, peraturan menteri tersebut akan mengatur hal-hal yang spesifik.
”Terkait keselamatan, kami akan atur gimana melindungi keselamatan pengemudi dengan mengontrol kualitas kendaraan, jenis jaket yang digunakan, pemakaian kaca spion, dan sebagainya. Jaminan keselamatan tenaga kerja juga dapat diatur karena Kementerian Ketenagakerjaan juga dilibatkan,” katanya.
Mengenai tarif, Budi menilai, tuntutan Rp 4.000 per km tidak masuk akal karena lebih tinggi dari tarif taksi. Pihaknya sudah menyiapkan lebih dari 10 indikator penentuan tarif, termasuk biaya operasional.
Namun, ia tidak menampik bahwa jasa transportasi sangat tergantung dari permintaan dan penawaran. Wacana moratorium penerimaan pengojek baru akan didiskusikan dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) sebagai pencatat jumlah pengojek daring yang aktif.
Pelaksana Tugas Kepala Biro Hubungan Masyarakat Kemkominfo Ferdinandus Setu mengatakan, Go-Jek dan Grab terdaftar sebagai perusahaan penyelenggara sistem (PSE) elektronik di Kemkominfo.
Konsekuensinya, perusahaan PSE hanya dikenai pajak perusahaan pada umumnya. Belum ada aturan pajak khusus yang dapat mengikat aplikator. Karena tak berstatus sebagai perusahaan transportasi, aplikator terbebas dari aturan mengenai upah, jaminan keselamatan, hingga lama kerja para pengojek mitra, seperti diatur UU Ketenagakerjaan dan UU LLAJ. (KRISTIAN OKA PRASETYADI)