Dewi Indriastuti dari Washington DC, Amerika Serikat
·3 menit baca
WASHINGTON DC, KOMPAS - Indonesia masih memiliki kesempatan memperoleh pembebasan tarif ekspor atas barang-barang tertentu ke Amerika Serikat. Namun, selama kesempatan tersebut diberikan, Indonesia mesti merealisasikan komitmen atas sejumlah hal.
Delegasi Indonesia dalam pertemuan dengan United States Trade Representative (USTR) di Washington DC, Amerika Serikat, Selasa (15/1/2019), meminta waktu hingga Juni untuk memenuhi berbagai komitmen itu.
"Namun, USTR berharap bisa lebih cepat. Mereka mengapresiasi sejumlah langkah yang menunjukkan keseriusan kita dalam memenuhi persyaratan. Nantinya, USTR akan mengkaji lagi soal pemberlakuan GSP," kata Menteri Perdagangan Eggartiasto Lukita di Washington DC, AS, seusai bertemu USTR.
Enggartiasto didampingi antara lain Duta Besar RI untuk AS Budi Bowoleksono dan Deputi Bidang Koordinasi Kerja Sama Ekonomi Internasional Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Rizal Affandi Lukman.
Pembebasan tarif impor atas barang-barang tertentu (generalized system of preference/GSP) diberikan AS kepada sejumlah negara berkembang. Beberapa waktu lalu, pemerintah AS menyatakan akan meninjau ulang kebijakan tersebut.
Dalam kerja sama perdagangan dengan sejumlah negara, AS mengalami defisit. Perdagangan dengan Indonesia, misalnya, pada Januari-Oktober 2018 senilai 23,96 miliar dollar AS, dengan surplus bagi Indonesia sebesar 6,992 miliar dollar AS.
Adapun pada 2017, nilai perdagangan Indonesia-AS sebesar 25,916 miliar dollar AS dengan surplus bagi Indonesia sebesar 9,672 miliar dollar AS. Nilai perdagangan pada 2016 dan 2015, berturut-turut sebesar 23,439 miliar dollar AS dan 23,833 miliar dollar AS. Pada 2016 dan 2015, Indonesia surplus 8,842 miliar dollar AS dan 8,647 dollar AS dari perdagangan dengan AS tersebut.
Indonesia, tambah Enggartiasto, akan memenuhi persyaratan dalam tinjauan GSP tersebut secara bertahap. Sebab, jika GSP dicabut, Indonesia akan kehilangan manfaat sekitar 2 miliar dollar AS.
"Kita harus melihat secara keseluruhan, jangan sektor per sektor karena akan sangat merugikan," katanya.
Salah satu persyaratan yang diharapkan paling cepat diselesaikan terkait kerja sama antara Mastercard dan Artajasa.
Pembatasan
Selain bertemu USTR, dalam kesempatan terpisah, delegasi RI juga bertemu dengan Presiden & CEO Kamar Dagang dan Industri (Kadin) AS Thomas J Donohue serta sejumlah pengusaha anggota Kadin AS.
Dalam pertemuan tertutup dengan Donohue, Enggartiasto menjelaskan, RI dan AS memiliki pemahaman yang sama dalam hubungan perekonomian kedua negara. Kedua belah pihak berharap hubungan ekonomi bisa ditingkatkan.
"Namun, sama seperti USTR, Kadin AS berharap tidak ada restriksi yang khusus diberlakukan bagi AS. Kita diminta untuk tidak memberi pembatasan apa pun, dengan kata lain, mesti diperlakukan sama dengan yang lain," kata Enggartiasto.
USTR menanyakan, antara lain, impor produk susu dari Australia. "Mereka menanyakan, kenapa tidak dibuka kemungkinan impor produk susu dari AS," tambah Enggartiasto.
Secara terpisah, Kepala Badan Pengkajian dan Pengembangan Perdagangan Kemendag, Kasan, mengungkapkan, terkait desakan USTR untuk meniadakan pembatasan bagi produk-produk AS ke Indonesia, bisa dijawab melalui pengalihan asal produk. "Misalnya, impor gandum, sebagian volume impornya bisa dialihkan ke AS," kata Kasan.
Produk impor lain yang memungkinkan untuk dialihkan ke AS antara lain produk susu dan kapas.
Sementara, dalam pertemuan dengan anggota Kadin AS, antara lain perwakilan dari Amazon, Prudential, Citi, FedEx, dan Cargill, muncul pertanyaan mengenai kepastian berusaha di Indonesia. Kepastian berusaha itu berkaitan dengan aturan pemerintah bagi sektor usaha tertentu.