Penindakan Hukum Saja Tak Cukup Meredakan Kabar Bohong
Oleh
Hendriyo Widi
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Komitmen Kepolisian Negara RI menuntaskan kasus kabar bohong tentang tujuh kontainer di Tanjung Priok yang berisi 80 juta surat suara dari Tiongkok diapresiasi. Namun, penindakan hukum saja tidak cukup meredakan fenomena kabar bohong yang merupakan salah satu wujud dari strategi politisasi identitas.
Elite politik juga perlu berperan meredakan kabar bohong. Mereka juga perlu mengedukasi masyarakat, konsitituen, dan para pendukungnya.
Saat ini, Kepolisian RI telah menuntaskan sebagian pemberkasan kasus kabar bohong tentang tujuh kontainer berisi 80 juta surat suara dari Tiongkok yang telah tercoblos. Polisi telah menyerahkannya ke Kejaksaan Agung (Kejagung).
Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Kepolisian Negara RI (Polri) Brigadir Jenderal (Pol) Dedi Prasetyo mengatakan, berkas perkara kasus itu dengan dua tersangka, yaitu BBP dan HY, sudah diserahkan ke Kejagung RI. ”Saat ini dua berkas itu sudah diterima Kejagung,” katanya, Jumat (18/1/2019).
Sebelumnya, Tim Badan Reserse Kriminal Polri telah menetapkan satu tersangka pembuat berita bohong, yaitu BBP. Tersangka tersebut ditangkap di Sragen, Jawa Tengah. BBP menjabat sebagai Ketua Dewan Koalisi Relawan Nasional Prabowo.
Adapun empat tersangka lain, yaitu MIK, LS, HY, dan J, ditetapkan sebagai tersangka penyebar berita hoaks. Keempatnya ditangkap polisi di empat lokasi terpisah. Tersangka BBP sebagai pembuat berita bohong mengaku tidak mengenal empat tersangka lainnya itu.
Kelima tersangka tersebut diketahui menggunakan media sosial sebagai sarana menyebarkan berita bohong. Polisi masih mencoba menggali motif kelima tersangka membuat dan menyebarkan kabar bohong. Polisi juga akan melihat kemungkinan adanya pihak-pihak lain yang terlibat.
Politisasi identitas
Menanggapi hal itu, Profesor Riset Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Siti Zuhro mengatakan, meredakan fenomena maraknya kabar bohong di media sosial tidak cukup hanya dengan penindakan hukum. Elite politik wajib turut berusaha mengedukasi pendukungnya menggunakan hak bersuara secara lebih positif.
Pada tahun elektoral ini, catatan paling menonjol dari tahun sebelumnya adalah tingginya ancaman pembelahan atau perpecahan sosial. Hal itu terutama terjadi akibat berita bohong yang terus-menerus dimunculkan untuk mengaduk perasaan masyarakat.
”Salah satu pemicu maraknya berita bohong yang dimunculkan menjelang Pemilihan Presiden 2019 adalah ketimpangan yang masih tinggi,” ujarnya.
Salah satu pemicu maraknya berita bohong yang dimunculkan menjelang Pemilihan Presiden 2019 adalah ketimpangan yang masih tinggi.
Menurut Situ Zuhro, hal itu tecermin pada rasio Gini Indonesia yang sebesar 0,389. Situasi kesejahteraan masyarakat yang timpang itu dapat diibaratkan sebagai dahan kering yang mudah terbakar jika tepercik api.
Hal itu rawan menimbulkan tindakan negatif yang didasari perasaan cemburu dan marah. ”Menjelang pilpres atau tidak, kabar bohong sebenarnya tetap ada di dalam kehidupan karena itu melekat pada karakter masyarakat kita,” ucapnya.
Di tengah kondisi masyarakat seperti itu, kontestasi politik akan mudah beralih makna. Pesta demokrasi bisa menjadi saluran kemarahan. ”Demokrasi yang kita bangun sekarang ini masih memiliki masalah, yaitu minus rasa saling percaya,” kata Siti.
Dalam tulisannya ”Politik 2018 dan Pilpres 2019” (Kompas, 2/1/2019), Siti menjelaskan, elite politik saat ini cenderung memanfaatkan isu SARA untuk meraih dukungan rakyat. Oleh karena itu, tidak heran jika narasi politik yang kemudian muncul bukanlah adu program antara kedua pasangan calon, melainkan saling serang dengan mengandalkan senjata berita bohong.
Sebenarnya, menurut Siti, tidak ada yang salah dengan politisasi identitas karena itu merupakan strategi yang paling mudah memengaruhi sentimen primordial pemilih. Yang jadi persoalan, politik identitas kini dieksploitasi secara berlebihan demi kepentingan politik sempit dengan mengagung-agungkan suku atau agama sendiri serta melecehkan kelompok lain yang berbeda. (PANDU WIYOGA)