JAKARTA, KOMPAS — Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menegaskan, surat keputusan pelepasan kawasan hutan untuk perkebunan sawit di Kabupaten Buol, Provinsi Sulawesi Tengah, tidak menyalahi aturan. Namun, jawaban rinci tentang perizinan tidak dijelaskan.
”Hari ini sedang dibahas. Kalau dari sisi legalitas, tidak ada masalah. Segala persyaratannya, dasar hukumnya, dan dokumennya sudah kuat, tidak ada persoalan,” kata Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar seusai acara ”Diseminasi Status Hutan dan Kehutanan Indonesia 2018” di Jakarta, Senin (21/1/2019).
Kalau dari sisi legalitas, tidak ada masalah. Segala persyaratannya, dasar hukumnya, dan dokumennya sudah kuat, tidak ada persoalan.
Ketika disinggung mengenai Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 8 Tahun 2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan serta Peningkatan Produktivitas Perkebunan Kelapa Sawit, Siti menyatakan, pelepasan kawasan hutan di Buol tidak menyalahi aturan. Inpres tersebut memiliki klasifikasi-klasifikasi untuk penundaan perizinan pelepasan kawasan hutan.
”Inpres juga ada klasifikasinya, yang tidak boleh sama sekali itu izin baru. Yang di Buol itu sudah ada izin prinsipnya. Kalau sudah ada izin prinsip, berarti seluruh syaratnya sudah terpenuhi,” kata Siti.
Direktur Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Sigit Hardwinarto, yang mengikuti kegiatan tersebut, belum bersedia menjawab secara rinci terkait pelepasan kawasan hutan di Buol. Ia hanya mengutarakan hal yang sama seperti yang disampaikan Menteri LHK.
”Pada prinsipnya sudah sesuai aturan. Untuk menjawabnya, saya perlu waktu untuk merinci terlebih dahulu,” kata Sigit.
Pada 23 November 2018, KLHK mengeluarkan Surat Keputusan Nomor SK 517/MENLHK/SETJEN/PLA 2/11/2018. Surat keputusan itu berisi tentang pelepasan kawasan hutan untuk perkebunan sawit seluas 9.964 hektar yang diberikan kepada PT Hardaya Inti Plantations (HIP) di Kabupaten Buol, Provinsi Sulawesi Tengah.
Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) menilai hal itu bertentangan dengan Inpres Nomor 8 Tahun 2018 yang diterbitkan lebih dulu, yakni tanggal 19 September 2018. Inpres itu dikeluarkan untuk mengevaluasi pembangunan perkebunan kelapa sawit yang berasal dari pelepasan kawasan hutan.
Inpres itu juga mengamanatkan untuk menunda permohonan pelepasan kawasan hutan untuk perkebunan kelapa sawit selama tiga tahun sejak diterbitkan inpres tersebut.
Inpres itu sudah jelas berisi moratorium pelepasan hutan untuk perkebunan kelapa sawit hingga 2021. Untuk itu, tidak bisa SK pelepasan hutan untuk perkebunan sawit diterbitkan setelah inpres berlaku.
Sebelumnya, pada Rabu (9/1/2019), Kepala Departemen Advokasi Walhi Zenzi Suhadi mengatakan, inpres itu sudah jelas berisi moratorium pelepasan hutan untuk perkebunan kelapa sawit hingga 2021. Untuk itu, tidak bisa SK pelepasan hutan untuk perkebunan sawit diterbitkan setelah inpres berlaku.
”Kami mendesak KLHK membatalkan SK pelepasan kawasan hutan itu. Kementerian Agraria dan Tata Ruang sebaiknya tidak menerbitkan HGU (hak guna usaha) kepada PT HIP,” kata Zenzi. (SUCIPTO)