Dibutuhkan Evaluasi Menyeluruh pada Penerapan Manajemen Bencana
Oleh
Madina Nusrat
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Menanggapi rencana pemerintah merevisi Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang penanggulangan bencana, beberapa pihak memandang evaluasi menyeluruh pada penerapan manajemen bencana penting dilaksanakan.
Sebab, banyaknya korban yang berjatuhan akibat bencana merupakan dampak dari rangkaian manajemen bencana yang belum sempurna dijalankan.
Ketua Program Magister Kebencanaan Universitas Pembangunan Nasional "Veteran" Yogyakarta Eko Teguh Paripurno, salah satunya, mengungkapkan, evaluasi perlu dilakukan menyeluruh pada manajemen bencana. Menurutnya, evaluasi itu perlu dilakukan sejak perencanaan pembangunan suatu wilayah, upaya pencegahan, mitigasi bencana, hingga kesiapsiagaan.
“Rangkaian itu harus dievaluasi, bukan hanya evaluasi setelah bencana datang,” kata Eko ketika dihubungi dari Jakarta, Kamis (24/1/2018).
Lebih lanjut Eko menyampaikan, investasi pascabencana menjadi lebih besar akibat perencanaan pembangunan yang tidak mempertimbangkan potensi dan risiko bencana. Menurutnya, pemerintah daerah berperan penting dalam melaksanakan kebijakan preventif itu.
Menurutnya, bencana adalah masalah yang kompleks sehingga banyak kementerian dan lembaga perlu mempertimbangkan kebijakan masing-masing. Selain gempa dan tsunami, banyak bencana yang diakibatkan oleh kelalaian pemerintah.
“Kenapa izin sawit muncul di hulu, dan terjadi pembabatan hutan di hulu? Akhirnya, longsor dan banjir hadir. Kalau hanya evaluasi ketika bencana hadir, itu sesat berpikir,” ujar Eko.
Butuh Penyempurnaan
Sementara Deputi Pencegahan dan Kesiapsiagaan, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Bernardus Wisnu Widjaja berpendapat, bahwa UU Nomot 24 Tahun 2007 sudah cukup memadai. Hanya memang membutuhkan penyempurnaan, terutama terkait penguatan dalam mengelola risiko.
“Yang perlu dikuatkan adalah mengelola risiko, yakni melalui politik anggaran ke arah preventif,” ucapnya.
Sebelumnya, seperti diberitakan Kompas.Id pada Rabu (23/1/2019), kebutuhan revisi Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang penanggulangan bencana itu sempat disinggung dalam rapat Tim Pengawas Penanggulangan Bencana DPR bersama sejumlah kementerian dan lembaga di Kompleks Senayan
Kebutuhan revisi itu disepakati DPR dan pemerintah. Salah satu alasannya karena kewenangan BNPB tak bisa menjangkau Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) yang ada di provinsi dan kabupaten/kota. Keterbatasan wewenang itu dikarenakan BPBD berada di bawah kendali kepala daerah.
Lebih lanjut Wisnu menyampaikan, pemahaman bencana saat ini masih lemah dan belum merata di masyarakat. Ancaman-ancaman bencana belum diterjemahkan ke dalam laku hidup masyarakat. Untuk itu, pemerintah daerah juga perlu kuat dalam memahami ancaman bencana di wilayah masing-masing.
Sekretaris Utama BNPB Dody Ruswandi pun mengharapkan agar revisi pada undang-undang penanggulangan bencana itu dapat merespons kebutuhan dalam penanganan bencana saat ini. Hal itu karena bencana yang terjadi di dalam negeri cukup dinamis.
Selain itu, menurut Dody, undang-undang yang sudah ada saat ini juga perlu dievaluasi pelaksanaannya. Sebab, penanggulangan bencana tidak terbatas pada tanggap darurat saja.
“Di dalam undang-undang itu hampir 70 persen berbicara sebelum bencana, seperti persiapan penanganan bencana. Namun dalam penerapannya, ketika bencana terjadi, penanganan bencana kerap terkendala oleh koordinasi. Sementara koordinasi itu harus berjalan dalam waktu yang singkat,” ujar Dody. (SUCIPTO)