45 Shelter Evakuasi Vertikal Cilacap Perlu Dikaji Ulang
CILACAP, KOMPAS — Sebanyak 45 shelter evakuasi vertikal berupa aneka bangunan bertingkat untuk mengurangi risiko dampak bencana tsunami di Cilacap sebaiknya dikaji ulang. Bangunan bertingkat perlu memiliki struktur bangunan yang kokoh agar layak dijadikan tempat evakuasi tatkala tsunami menerjang dan gempa bumi terjadi.
Baca juga: Gempa Guncang Selatan Jawa
”Kami akan bekerja sama dengan ahli geologi dari UGM untuk mengecek kondisi kekuatan tanah serta bekerja sama dengan ahli bangunan untuk mengecek kekuatan bangunan. Setidaknya bangunan untuk evakuasi tahan gempa dengan kekuatan di atas 8 SR,” kata Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Cilacap Tri Komara, Jumat (25/1/2019).
Tri menyampaikan, sebanyak 45 gedung di wilayah Cilacap telah menjalin kerja sama dengan BPBD dan melalui nota kesepahaman pada 2014, gedung-gedung bertingkat itu akan membuka pintu bagi warga saat terjadi tsunami agar dapat naik ke lantai atas untuk menghindari hantaman gelombang. Gedung-gedung itu berada di Kecamatan Cilacap Selatan, Cilacap Tengah, dan Cilacap Utara.
Nama-nama 45 gedung itu antara lain adalah gedung SMPN 1 Cilacap, SMPN 3 Cilacap, Hotel Tiga Intan, SMP Pius Cilacap, RSU Santa Maria Cilacap, Rusunawa, DPRD Kabupaten Cilacap, SDN 01 dan 02 Tegalreja, RSUD Cilacap, Badan Diklat Arsip dan Perpusda, Asuransi Bumiputra, SDN 8 Sidanegara, RS Aprillia, Gedung Golkar, SMPN 4 Cilacap, SMPN 6 Cilacap, SMP Purnama 2 Cilacap, SMP PGRI 1 Cilacap, RSI Fatimah, SMP Muhammadiyah 2, Kelurahan Mertasinga, dan SD N 5 Gumilir. ”Tahun ini kami juga akan menjalin kerja sama dengan sejumlah hotel agar gedungnya menjadi shelter evakuasi vertikal,” tutur Tri.
Tsunami merupakan ancaman bencana yang paling diwaspadai, terutama bagi warga Kota Cilacap yang letaknya berada di pinggir pantai. ”Cilacap merupakan laboratorium bencana. Semua bencana, mulai dari gempa bumi, tsunami, longsor, dan banjir, ada di sini. Ancaman gunung berapi paling dekat dengan Gunung Slamet yang berjarak sekitar 82 kilometer,” kata Tri. Bahkan, ada juga bencana akibat rawan kegagalan teknologi karena di Cilacap mempunyai kompleks Pertamina.
Baca juga: Jateng Fokus Waspadai Tsunami di Wilayah Selatan
Kepala Seksi Pencegahan BPBD Kabupaten Cilacap Firman Bariyadi menambahkan, di wilayah kota juga sudah terpasang 10 alat peringatan dini. Namun, dari total panjang garis pantai Cilacap yang mencapai 102 kilometer, saat ini hanya terdapat 28 alat yang aktif. ”Bunyi sirene satu alat bisa menjangkau jarak 1,5 kilometer. Idealnya di Cilacap ada sekitar 70-75 alat,” kata Firman.
Untuk mengatasi kekurangan alat tersebut, lanjut Firman, pihaknya berupaya untuk menempatkan sirene alat peringatan dini di lokasi prioritas, yaitu kawasan yang dihuni oleh warga. Selain itu, kearifan lokal berupa tabuhan kentongan sebagai tanda bahaya juga diterapkan kepada warga masyarakat.
Menurut Tri, Cilacap juga membutuhkan tanggul terbuka hijau. Tanggul dengan tinggi 15 meter dan panjang mencapai 50-100 meter perlu dibangun di pesisir Cilacap untuk menahan serta memecah kekuatan terjangan tsunami. Tanggul ini seperti bukit yang di atasnya akan ditanami tanaman keras, seperti cemara laut. ”Beberapa tahun lalu sudah pernah ada kajiannya dan diusulkan ke pusat, tetapi sampai saat ini belum terlaksana,” kata Tri.
Baca juga: Peringatan Dini Tsunami di Pantai Selatan
Cilacap juga membentuk 26 desa tangguh bencana untuk mengedukasi warga terkait berbagai jenis bencana dan langkah-langkah mitigasi bencana untuk mengurangi risiko bencana. Ketua Desa Tangguh Bencana Desa Widarapayung Wetan Ashadi mengatakan, sebagai lokasi yang pernah diterjang tsunami pada 2006, warga di sana mulai sadar akan bahaya tsunami. ”Dulu orang justru melihat ke laut saat air surut tiba-tiba dan dari kejauhan ada buih, padahal itu adalah gelombang tsunami yang siap menerjang dataran,” kata Ashadi.
Melalui sosialisasi, baik di tingkat RT, RW, dusun, maupun desa, warga diingatkan untuk waspada dan mengenali bencana yang ada. ”Kami juga mengimbau warga untuk menyiapkan 1 kentongan setiap rumah meskipun ada sirene peringatan dini tsunami di desa ini,” ujar Ashadi.
Dulu orang justru melihat ke laut saat air surut tiba-tiba dan dari kejauhan ada buih, padahal itu adalah gelombang tsunami yang siap menerjang dataran.