BI Terus Berupaya Longgarkan Likuiditas di Pasar Keuangan
Oleh
Karina Isna Irawan
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Di tengah kondisi pasar keuangan yang cenderung ketat, Bank Indonesia menjamin kecukupan likuiditas untuk transaksi-transaksi keuangan baik dalam denominasi rupiah maupun valuta asing. BI mengimbangi pengetatan moneter akibat kenaikan suku bunga acuan dengan merelaksasi sejumlah kebijakan makroprudensial dan meningkatkan intensitas operasi moneter melalui lelang repo ataupun swap.
”Kami terus longgarkan likuiditas. Tahun lalu, likuiditas cukup, mulai bulan November kami juga sudah kendorkan aturan-aturan terkait likuiditas,” kata Gubernur BI Perry Warjiyo dalam konferensi pers rapat koordinasi Komite Stabilitas Sistem Keuangan di Jakarta, Selasa (29/1/2019).
Untuk meningkatkan fleksibilitas dan distribusi likuiditas antarbank, porsi pemenuhan giro wajib minimum (GWM) rata-rata bank konvensional dan syariah dinaikkan dari 2 persen menjadi 3 persen dana pihak ketiga (DPK). Rasio Penyangga Likuiditas Makroprudensial (LPM) bank konvensional dan syariah juga dinaikkan dari 2 persen menjadi 4 persen dari DPK.
Pelonggaran GWM rata-rata dan rasio LPM berlaku sejak triwulan IV-2018. Dengan kebijakan itu, perbankan semakin fleksibel mengelola likuiditas dan merepokan surat berharga yang dimiliki kepada bank lain untuk menambah likuiditas. Repo adalah transaksi penjualan instrumen efek dengan perjanjian akan dibeli kembali.
Perry mengatakan, upaya meningkatkan ketahanan ekonomi dari tekanan eksternal juga ditempuh melalui penguatan kerja sama moneter dan keuangan. BI dan otoritas moneter Singapura menandatangani perjanjian keuangan senilai 20 miliar dollar AS dalam bentuk swap bilateral dalam mata uang lokal dan repo bilateral valas.
Selain itu, BI memperbarui dan memperbesar perjanjian swap bilateral dengan Bank Sentral China (PBoC) dari semula 15 miliar dollar AS menjadi 30 miliar dollar AS.
Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan Halim Alamsyah mengatakan, pergerakan DPK sepanjang 2018 dalam batas wajar dan tidak terjadi perpindahan dana yang mengkhawatirkan. Meski demikian, rasio pinjaman terhadap simpanan industri perbankan (LDR) pada 2018 sebesar 93,2 persen. LDR itu melampaui batas atas yang ditentukan BI, yakni 92 persen.
”Kami melihat beberapa kali ada potensi perlambatan likuiditas, tetapi sudah menunjukkan perbaikan,” kata Halim.
Menurut Halim, potensi terjadinya segmentasi pada beberapa bank mungkin terjadi. LDR sejumlah bank yang masuk ketegori Bank Umum Kegiatan Usaha (BUKU) I dan II berisiko meningkat, yang menunjukkan likuiditas semakin ketat. Sinyal kebijakan dari BI untuk terus melonggarkan dan menjamin kondisi likuiditas diharapkan memperkecil risiko pengetatan.
Konsolidasiperbankan
Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Wimboh Santoso mengatakan, bank tetap harus kompetitif dalam situasi likuiditas yang mulai terbatas dan suku bunga tinggi. Persaingan bukan hanya sesama bank domestik, melainkan juga bank asing. Bank yang keuangannya tidak lagi sehat dapat melakukan konsolidasi agar tetap kompetitif.
”Ini yang kami harapkan. Namun, konsolidasi perbankan digerakkan oleh pasar, bukan regulasi,” kata Wimboh.
Bank tetap harus kompetitif dalam situasi likuiditas yang mulai terbatas dan suku bunga tinggi.
Berdasarkan data OJK, ada 115 bank umum konvensional dan bank umum syariah per November 2018 di Indonesia.
Dalam Arsitektur Perbankan Indonesia (API) yang dirilis BI pada 9 Januari 2004, modal minimum bank disyaratkan Rp 100 miliar. API juga menargetkan, dalam 10-15 tahun kemudian, Indonesia memiliki 2-3 bank internasional dengan modal di atas Rp 50 triliun. Selain itu, Indonesia juga memiliki 3-5 bank nasional dengan modal Rp 10 triliun-Rp 50 triliun, 30-50 bank segmen usaha tertentu dengan modal Rp 100 miliar-Rp 10 triliun, dan bank perkreditan rakyat.
Wimboh mengatakan, sejauh ini, stabilitas sektor keuangan masih terjaga. Kinerja intermediasi keuangan dinilai positif, antara lain pertumbuhan kredit perbankan pada Desember 2018 sebesar 11,75 persen dan kinerja intermediasi perusahaan pembiayaan yang tumbuh 5,17 persen secara tahunan. Adapun dana yang dihimpun dari pasar modal Rp 166 triliun.
Kinerja intermediasi keuangan dinilai positif, antara lain pertumbuhan kredit perbankan pada Desember 2018 sebesar 11,75 persen.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menambahkan, pemerintah tetap mengantisipasi risiko yang bersumber dari perlambatan pertumbuhan ekonomi China, berlanjutnya defisit neraca pembayaran, defisit transaksi berjalan, dan segmentasi likuiditas. Sinergi kebijakan fiskal, moneter, dan makroprudensial ditingkatkan untuk menjaga momentum pertumbuhan ekonomi.
Tantangan ekonomi pada 2019 diproyeksikan semakin beragam. Faktor risiko global masih tinggi dan akan berpengaruh terhadap likuiditas dan neraca perdagangan Indonesia.