JAKARTA, KOMPAS — Mekanisme pelaporan dana kampanye dalam Pemilu 2019 masih memunculkan celah dan pertanyaan terkait sejumlah hal dasar, semisal asal dana kampanye dan kebenaran pelaporan dana kampanye itu oleh partai politik ataupun calon anggota legsilatif. Ketidakjelasan mekanisme tidak hanya berpotensi menurunkan akuntabilitas pemilu, tetapi juga memicu munculnya ruang gelap di dalam pembiayaan kampanye yang rentan diisi dengan kepentingan transaksional.
Gugatan mengenai dana kampanye itu antara lain terungkap bila melihat besaran laporan sumbangan dana kampanye (LPSDK) yang terakhir diserahkan oleh parpol dan caleg kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada 2 Januari 2019. LPSDK itu jauh lebih kecil bila dibandingkan dengan LPSDK dalam Pemilu 2014. Dalam mekanisme pemilihan yang sama, bahkan dengan bobot persaingan yang lebih berat dan penyelenggaraan yang serentak dengan pemilu presiden, adanya gap atau kesenjangan dana kampanye antara Pemilu 2014 dan Pemilu 2019 ini memicu pertanyaan.
”Pada 2014, LPSDK sebesar Rp 2,1 triliun. Jumlah itu anehnya lebih besar bila melihat hasil LPSDK Pemilu 2019, yakni Rp 427 miliar. Ada gap besar antara LPSDK Pemilu 2014 dan Pemilu 2019 karena dengan mekanisme yang hampir sama, secara teoretis semestinya dana kampanye yang dilaporkan lebih besar daripada pemilu sebelumnya. Kenapa ini malah turun, dan dari mana parpol dan caleg memenuhi kekurangan dana kampanyenya,” kata August Mellaz, Direktur Eksekutif Sindikasi Pemilu dan Demokrasi (SPD), dalam diskusi bertajuk ”Pembiayaan Gelap dan Korupsi Politik di Pemilu 2019”, Senin (28/1/2019) di Jakarta.
Selain August, hadir pula pengajar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada (UGM), Mada Sukmajati; Kepala Kampanye Iklim dan Energi Greenpece Asia Tenggara Tata Mustasya; Koordinator Jaringan Antitambang Nasional Merah Johansyah; dan Direktur Eksekutif The Indonesian Institute Adinda Tenriangke Muchtar selaku penanggap diskusi. Pembicara kunci dalam diskusi tersebut ialah anggota Badan Pengawas Pemilu Fritz Edward Siregar.
Menurut August, kesenjangan itu harus diwaspadai untuk mencegah dana kampanye terjebak dalam politik transaksional. Apalagi, kini pola kontestasi pemilu justru lebih personal dan tidak lagi menempatkan parpol sebagai aktor utama. Sistem pemilu membuat caleg berupaya memenangkan dirinya dengan segala sumber daya yang dimilikinya, termasuk dalam pendanaan kampanye. Tren itu juga telah terbaca pada Pemilu 2014. Pada Pemilu 2014, caleg menyumbang 82,65 persen LPSDK, sedangkan politik hanya 7,60 persen LPSDK. Hal ini menunjukkan politik yang makin berorientasi personal.
Sayangnya, isu dana kampanye itu tidak mendapatkan perhatian lebih dari pembuat kebijakan. Mada mengemukakan konsep ”partaikrasi” untuk menggambarkan bagaimana gerak langkah parpol berkelindan dengan tiga dimensi yang dimilikinya, salah satunya pembiayaan kampanye. Dua dimensi lain ialah pembiayaan politik dan korupsi politik.
”Tidak bisa dihindari di dalam kenyataan parpol kita, mereka yang memiliki uanglah yang akan menjadi ketua parpol. Sejak dari rekrutmen parpol dan pimpinannya sudah ada korupsi,” kata Mada.
Dalam pembiayaan kampanye pun, pola tersebut ditemui karena dukungan finansial dari akar rumput sangat minim kepada parpol. Kontestasi politik sangat bergantung kepada calon, sedangkan peran parpol terus menurun, dan sumber pendanaan yang dimanfaatkan para caleg itu secara individual pun makin beragam, termasuk pendanaan yang tidak jelas asalnya.
Merah dan Tata mengemukakan hasil kajian mereka tentang adanya nama-nama pengusaha di balik para kandidat calon presiden, yang diduga merupakan pengusaha tambang batubara yang tidak ramah lingkungan. Para pengusaha itu diduga berupaya mempertahankan bisnisnya dengan ikut mendukung pasangan calon presiden dan wakil presiden. Hubungannya pun sangat transaksional. ”Ini adalah oligarki ekstraktif di lingkar kandidat presiden 2019,” kata Merah.
Kompleksitas politik uang
Adinda mengatakan, hasil kajian yang dikemukakan di dalam diskusi itu menunjukkan kompleksitas politik uang dan politik transaksional.
”Kondisi ini membuat demokrasi melemah karena ada konflik kepentingan yang mendasari hubungan transaksional tersebut. Demokrasi menjadi tersandera,” katanya.
Bawaslu, di satu sisi, tidak dibekali dengan mekanisme penindakan yang jelas di dalam UU Pemilu untuk mengungkap siapa saja orang-orang yang mendanai kampanye dan apakah pendanaan itu dilakukan dengan mekanisme yang legal. Bahkan, untuk mengungkap politik uang dalam pemilihan pun, mekanismenya tidak mudah.
”Kami diberi kewenangan lebih besar untuk mengawasi politik uang, tetapi UU Pemilu tidak mengatur bagaimana peran itu diimplementasikan. Ketika mahar politik, misalnya, ditemukan, UU tidak mengatur bagaimana pidananya. Ada beberapa kasus saat Bawaslu tidak bisa maju karena persoalan itu,” kata Fritz.