Daftar Caleg Bekas Napi Korupsi
JAKARTA, KOMPAS — Indonesia Corruption Watch merilis 46 nama calon anggota legislatif yang pernah menjadi narapidana kasus korupsi. Jumlah tersebut kemungkinan bertambah jika masyarakat mau berkontribusi melaporkan caleg di daerahnya yang bekas koruptor.
Hingga 10 Januari 2019, Indonesia Corruption Watch (ICW) mendata 40 calon anggota legislatif (caleg) dari 12 partai serta enam caleg dari Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang merupakan bekas narapidana korupsi. Mereka mencalonkan diri sebagai Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dan DPD.
”ICW mengumpulkan data orang yang kita ketahui sebagai bekas narapidana korupsi dan tercatat daftar calon tetap (DCT) Pemilu 2019. Kalau di curriculum vitae (caleg) yang dipublikasi KPU (Komisi Pemilihan Umum), mereka tidak mencatatkan status bekas narapidananya, kami akan menghubungi KPU di daerah untuk memastikan,” kata Peneliti ICW, Almas Sjafrina, di Jakarta, Rabu (30/1/2019).
Partai Golongan Karya tercatat paling banyak memiliki caleg bekas napi korupsi dengan jumlah delapan orang. Diikuti Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) dan Hati Nurani Rakyat (Hanura) yang masing-masing memiliki enam caleg berstatus bekas narapidana korupsi. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan dan Partai Keadilan Sejahtera masing-masing hanya mencalonkan satu caleg bekas koruptor.
Sementara itu, ICW mencatat, beberapa partai tidak mencalonkan anggotanya yang berstatus bekas koruptor karena berbagai alasan. Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP), misalnya, pernah mengganti anggotanya yang pernah tersangkut kasus korupsi dengan calon lainnya.
”Partai Nasdem (Nasional Demokrat) juga sempat mencalonkan eks napi kasus korupsi yang dicoret KPU. Dia lalu memenangi gugatan di tingkat Bawaslu (Badan Pengawas Pemilu), tetapi partai yang bersangkutan tidak jadi mencalonkan mereka,” katanya.
Caleg yang dimaksud sebelumnya pernah terdaftar dalam daftar caleg sementara (DCS) DPRD Kabupaten Rejang Lebong, Provinsi Bengkulu. Namun, pada September 2018, Nasdem mencoret bakal calon anggota legislatifnya dari daftar.
Sjafrina memperkirakan, KPU bisa mengumumkan lebih banyak nama caleg bekas narapidana kasus korupsi. Seperti diketahui, hari ini, KPU akan merilis nama-nama tersebut. Namun, sekalipun KPU telah merilis datanya, ada kemungkinan caleg lain yang tidak terdata bisa dilaporkan.
”Kami menemukan ada caleg bekas napi korupsi yang lolos DCT, tetapi di formulir pendaftaran yang diserahkan kepada KPU tidak ada keterangan bahwa yang bersangkutan tersangka. Jadi, harus dicek lagi,” katanya.
Komitmen
Sjafrina berharap partai politik dapat lebih berkomitmen mewujudkan parlemen yang bersih dari pelaku korupsi dan memberantas korupsi pun diharapkan. Selain itu, masyarakat juga bisa berkontribusi untuk melaporkan caleg yang tidak jujur menyatakan statusnya.
”Masyarakat bisa berkontribusi untuk memberi info tambahan. Bisa jadi masih ada caleg yang tidak jujur menyatakan statusnya dan KPU juga terlewat mengecek kebenaran informasi tersebut,” ujarnya.
Hal yang sama juga diharapkan Juru Bicara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Febri Diansyah. Ia menyarankan agar masyarakat memberikan masukan jika ada nama-nama caleg bekas narapidana korupsi lain yang belum tercantum dalam daftar yang diumumkan KPU nanti.
”Sepanjang sesuai dengan aturan yang berlaku, kami mendukung agar masyarakat tahu latar belakang dari calon yang akan dipilih. Apalagi KPK sudah menangani ratusan pelaku korupsi di sektor politik, baik anggota DPR/DPRD maupun kepala daerah. Jangan sampai pada 2019 terpilih lagi orang yang pernah melakukan korupsi,” katanya.
Berdasarkan Peraturan KPU (PKPU) Nomor 20 Tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota, bekas terpidana korupsi dilarang mencalonkan diri sebagai anggota legislatif.
Hal ini seperti tertera pada Pasal 7 Ayat 1 yang menyebut, bakal calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota adalah warga negara Indonesia dan harus memenuhi persyaratan. Pada Huruf (h) disebutkan syarat, bukan bekas terpidana bandar narkoba, kejahatan seksual terhadap anak, atau korupsi.
Peraturan ini sempat menimbulkan kontroversi karena aturan yang sama belum diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Hal itu membuat anggota partai yang ingin mencalonkan diri sebagai anggota legislatif mengajukan gugatan uji materi PKPU tentang larangan bekas napi kasus korupsi mendaftar sebagai caleg. Atas dasar itu, 13 caleg mengajukan uji materi ke Mahkamah Agung karena merasa dirugikan (Kompas, 2/1/2019).
Terus berubah
Persyaratan calon anggota legislatif terus berubah sejak Pemilu 1999 sampai menjelang Pemilu 2019. Pada Pemilu 1999 dan 2004, syarat bakal caleg adalah seseorang yang tidak sedang menjalani pidana penjara dengan ancaman penjara lima tahun.
Pada periode selanjutnya, yaitu Pemilu 2009 dan 2014, peraturan bertambah ketat. Bakal caleg tidak pernah dijatuhi pidana penjara dengan ancaman lima tahun atau lebih. Sementara tahun ini MK memutuskan bekas terpidana, termasuk kasus korupsi, boleh mencalonkan diri.
Meski pada 2018, KPU sempat membuat aturan yang tidak memperbolehkan bekas terpidana mengikuti Pileg 2019 melalui PKPU No 20 Tahun 2018 dan PKPU No 26 Tahun 2018. Namun, partai-partai tetap meloloskan bakal calegnya dan melanggar pakta integritas dari aturan PKPU.
Data beberapa lembaga, seperti ICW, KPK, dan Kementerian Dalam Negeri, menyatakan bahwa kasus korupsi telah melibatkan banyak caleg dan anggota legislatif. Pada Pileg 2019, 46 bekas narapidana kasus korupsi mencalonkan diri dalam Pileg DPRD Provinsi dan DPD.
Pada tahun 2014, 59 anggota dewan terpilih periode 2014-2019 pernah tersangkut korupsi. Sementara kasus korupsi yang melibatkan anggota legislatif selama tahun 2018 adalah 91 dari 138 kasus. (ERIKA KURNIA)