Polemik tentang komoditas jagung memasuki babak baru. Kali ini terkait keputusan Menteri Perdagangan memberikan harga khusus untuk daging ayam dan telur ayam. Kebijakan yang tertuang dalam surat bernomor 82/M-DAG/SD/1/2019 itu berlaku pada Januari-Maret 2019.
Isi surat itu, harga acuan pembelian daging ayam dan telur ayam di tingkat peternak ditetapkan Rp 20.000-22.000 per kilogram (kg), sementara harga acuan penjualan di tingkat konsumen Rp 25.000 per kg untuk telur ayam dan Rp 36.000 per kg untuk daging ayam. Keputusan menaikkan harga acuan dimaksudkan sebagai kompensasi atas tingginya harga jagung yang jadi bahan baku utama pakan ternak.
Keputusan itu sebenarnya bukan hal baru. Cara serupa telah beberapa kali ditempuh Kementerian Perdagangan, antara lain melalui Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) 96 Tahun 2018 tentang Harga Acuan Pembelian di Tingkat Petani dan Harga Penjualan di Tingkat Konsumen yang diundangkan 21 September 2018.
Permendag 96/2018 merupakan revisi atas regulasi serupa sebelumnya, yakni Permendag 58/2018 yang diundangkan 4 Mei 2018 dan Permendag 27/2017 yang diundangkan pada 16 Mei 2017, dengan sebagian besar perubahan pada besaran harga acuan. Ketentuan itu diharapkan melindungi harga di tingkat petani/peternak sebagai produses sekaligus di tingkat konsumen.
Apakah ketentuan itu efektif? Nyatanya tidak. Harga sejumlah komoditas pangan pokok yang diatur dalam ketentuan itu lebih tunduk pada mekanisme pasar. Naik saat pasokannya kurang dan turun saat pasokannya berlimpah. Sejumlah regulasi itu lebih pas jadi "macan kertas".
Jika berpangkal pada keluhan peternak, problemnya bersumber pada harga jagung yang terus naik sejak akhir tahun lalu. Gejalanya mudah dibaca dari pergerakan harga jagung dan harga pakan ternak. Sepanjang tahun 2018, harga pakan unggas setidaknya tiga kali naik senilai Rp 600-Rp 800 per kg, belum termasuk kenaikan pada 2016-2017, yang sebagian besar dipengaruhi oleh harga jagung.
Upaya mengatasi keadaan dengan menaikkan harga acuan bukanlah cara yang tepat.
Hari-hari ini, peternak unggas harus membeli jagung dengan harga Rp 5.300-6.500 per kg, tergantung kondisi dan kadar airnya. Angka itu jauh lebih tinggi dibandingkan harga acuannya yang ditetapkan Rp 2.500-3.150 per kg di petani (kadar air 15-35 persen) dan Rp 4.000 per kg di tingkat konsumen. Jika menilik selisih angka yang sangat timpang itu, stok jagung di pasaran dipastikan kurang.
Oleh karena itu, upaya mengatasi keadaan dengan menaikkan harga acuan bukanlah cara yang tepat. Sebab, apa artinya kenaikan harga acuan naik jika jagung tetap sulit dicari dan harganya tinggi. Impor pun tak bisa segera memadamkan "api" jika keputusannya selalu dadakan atau kuotanya salah hitung.
Pemerintah perlu segera menuntaskan problem di hulu. Data luas tanam, luas panen, dan produksi jagung mesti akurat. Dengan demikian, kekurangan atau kelebihan jagung bisa dihitung lebih pas untuk menyesuaikan kebutuhan nasional.
Impor, jika memang diperlukan, bukanlah pilihan terlarang. Jangan mengorbankan peternak dan konsumen dengan membebani mereka dengan harga tinggi. Cukuplah pengalaman tiga tahun ini sebagai cermin. Jangan salah "obat" lagi.