JAKARTA, KOMPAS — Penurunan indeks reformasi birokrasi mayoritas disebabkan kualitas pelayanan publik yang cenderung buruk. Untuk itu, perbaikan sarana/prasarana dan peningkatan kualitas sumber daya manusia menjadi kunci dalam upaya menggenjot indeks tersebut.
Deputi Bidang Reformasi Birokrasi, Akuntabilitas Aparatur, dan Pengawasan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan dan RB) Muhammad Yusuf Ateh mengatakan, perbaikan sarana/prasarana dan optimalisasi kualitas SDM penting karena hasilnya langsung dirasakan publik. Hal itu bisa dimulai dengan pengusulan zona integritas.
”Paling tidak, kami ingin menaruh sistem yang baik. Kami beda dengan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) yang (pemberantasan korupsinya) mulai dari penindakan. Kami mulai dari bawah dengan menggugah kesadaran instansi dan pemerintah daerah,” ujar Ateh, di Jakarta, Minggu (3/2/2019).
Sebelumnya, berdasarkan hasil evaluasi Kemenpan dan RB kepada seluruh instansi pemerintah pada 2018, indeks reformasi birokrasi cenderung stagnan, bahkan menurun. Adapun penilaian dilakukan di 83 kementerian/lembaga, 34 pemerintah provinsi, dan 518 pemerintah kabupaten/kota.
Penurunan indeks reformasi birokrasi terjadi di tingkat pemerintah pusat, dari 72,48 pada 2017 menjadi 72,15 pada 2018. Penurunan juga terjadi di pemerintah kabupaten/kota, dari 57,72 menjadi 53,54. Sementara itu, di tingkat pemerintah provinsi sedikit naik, dari 61,75 menjadi 62,73.
Pengusulan zona integritas hanya menjadi salah satu bagian reformasi birokrasi yang terlihat dari luar. Pembenahan dari dalam birokrasi dilakukan melalui evaluasi Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintahan (SAKIP).
Predikat zona integritas hanya diberikan kepada instansi pemerintah yang pimpinan dan jajarannya mempunyai komitmen mewujudkan wilayah bebas korupsi (WBK) atau wilayah birokrasi bersih melayani (WBBM).
”Nilai zona integritas ini memengaruhi nilai reformasi birokrasi karena akan melihat wilayah itu masih ada calo, penyimpangan, pungutan liar atau tidak,” kata Ateh.
Nilai zona integritas ini memengaruhi nilai reformasi birokrasi karena akan melihat wilayah itu masih ada calo, penyimpangan, pungutan liar atau tidak.
Pada 2017, Kemenpan dan RB telah membangun 109 unit percontohan WBK dan 18 unit percontohan WBBM. Pada 2018, setidaknya ada 910 satuan kerja pelayanan yang diusulkan mendapat predikat WBK dan WBBM. Hasilnya, hanya ada 205 unit kerja yang ditetapkan sebagai wilayah WBK dan WBBM.
Ateh menuturkan, penilaian menjadi lebih ketat karena semangat reformasi birokrasi harus tecermin dari pejabat tinggi hingga jajaran paling bawah di birokrasi.
”Kami ingin reformasi birokrasi ini menjadi pemahaman dan keseriusan bersama. Ini penting karena tuntutan masyarakat juga makin besar. Mereka ingin pelayanan lebih baik, cepat, dan transparan,” ujarnya.
Perubahan nyata
Pengajar Administrasi Publik di Universitas Padjajaran, Bandung, Yogi Suprayogi, mengatakan, predikat zona integritas menjadi percuma jika tidak diiringi dengan konsistensi dari birokrasi itu sendiri.
”Harus ada dampak nyata, misal tak ada pungutan liar. Masyarakat, kan, kadang masih menemukan, ada tanda (zona integritas), tetapi oknum-oknum itu masih ada. Jadi, perubahan perilaku (birokrasi) itu harus menyeluruh,” kata Yogi.
Masyarakat, kan, kadang masih menemukan, ada tanda (zona integritas), tetapi oknum-oknum itu masih ada. Jadi, perubahan perilaku (birokrasi) itu harus menyeluruh.
Selain itu, menurut Yogi, peningkatan kualitas aparatur di birokrasi juga menjadi kunci dalam upaya percepatan reformasi birokrasi. Tak hanya mengubah pola pikir yang bebas dari praktik korupsi, tetapi juga peningkatan kompetensi atau soft skill.
”ASN itu harus melek komputer. Sekarang, kan, masih banyak ASN yang dikasih komputer malah gugup. Pelatihan itu harus ada mengingat tantangan birokrasi ke depan adalah teknologi,” ujar Yogi.
Guru Besar dan Dekan Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia Eko Prasojo menambahkan, pada dasarnya esensi dari reformasi birokrasi memang harus berorientasi kepada publik. Strategi itu bisa dilakukan dengan perbaikan terhadap kualitas pelayanan publik, seperti perubahan sikap, mental, model, dan budaya melayani dari para aparatur.
”Program reformasi birokrasi itu benar-benar harus bisa menjangkau, menciptakan masyarakat yang gembira, bahagia, saat berhadapan dengan birokrasi,” kata Eko.