Konsep Kota Mandiri yang Melenceng
Pukul 04.30, Patricia Wijaya (24) harus berangkat kerja dari rumahnya di daerah Tigaraksa, Tangerang, Banten. Jarak dari rumah ke kantornya di kawasan Grogol, Jakarta sekitar 51 kilometer. Kira-kira butuh waktu 2-3 jam perjalanan dengan bus umum. Bahkan, jika ada kecelakaan atau perbaikan jalan di Tol Tangerang-Jakarta, ia bisa menghabiskan waktu 5 jam di jalan.
”Waktu pulang juga selama itu. Pernah sampai rumah pukul 11 malam karena lama menunggu bus yang kosong. Mending menunggu bus lama daripada harus berdiri. Capek. Saya sampai enggak punya malu kalau rebutan naik bus. Kalau enggak rebutan, saya enggak akan dapat (bangku). Kadang ya egois juga kalau ada ibu hamil atau orangtua,” kata Patricia yang sudah menjadi pelaju Tangerang-Jakarta selama empat tahun.
Pengalaman serupa juga dialami Maria Diana (57), warga Bekasi Timur, Jawa Barat. Ia harus berangkat pukul 04.45 dari rumahnya agar bisa sampai ke kantornya pukul 07.00 di kawasan Kebon Jeruk, Jakarta Barat. Beruntung, jam pulang kantornya sekitar pukul 16.00 sehingga bisa sampai rumah pukul 18.00.
Setiap pagi, dari Senin sampai Jumat, Maria harus bangun pukul 03.30 untuk menyiapkan semua keperluan diri dan keluarganya. Mulai dari memasak, menyiapkan bekal, sampai membersihkan rumah. Semua pekerjaan itu harus sudah diselesaikan sebelum ia pergi bekerja.
Sebagai seorang perawat di rumah sakit, ia tidak bisa memilih tempat bertugas. Ia sudah sempat mengajukan diri untuk pindah tempat kerja, tetapi perusahaannya belum juga mengizinkan untuk pindah. ”Berarti tahun ini sudah hampir 30 tahun saya ngelaju kerja. Pernah berpikir mau cari kerja di Bekasi, tetapi belum tentu bisa lebih bagus, baik dari gaji maupun pengalaman,” ujar ibu dari tiga anak ini.
Baca juga: Jabodetabek Dihuni 4.375 Jiwa Per Kilometer Persegi
Rutinitas setiap minggu yang sebenarnya meletihkan tidak membuat Patricia ataupun Maria berpindah kerja ke kota tempat tinggalnya. Sebagai pekerja di bidang teknologi informasi, Patricia merasa tidak ada perusahaan yang membanggakan dan memberikan pengalaman sebaik perusahaannya di Jakarta. ”Kecuali, ada perusahaan besar skala internasional atau nasional yang kantor pusatnya di Tangerang, saya pasti lamar dan berusaha pindah ke sana,” ujarnya.
Barangkali pemikiran itu juga yang menjadi alasan lebih dari 1 juta pekerja lain yang melakukan perjalanan harian dari luar Jakarta, seperti Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi. Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) DKI Jakarta 2013-2017 tercatat, jumlah pelaju atau komuter dari Bodetabek menuju Jakarta pada 2010 mencapai 1,5 juta orang per hari. Jakarta seakan memiliki magnet untuk berdagang barang dan jasa.
Mengurangi beban Jakarta
Padahal, pengamat perkotaan dari Universitas Trisaksi, Yayat Supriatna, menyampaikan, sejak lama Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mengupayakan berbagai hal agar beban Jakarta, yang dianggap sebagai pusat ekonomi, sosial, dan politik, bisa terurai.
Dalam masa pemerintahan Gubernur Ali Sadikin, Rencana Induk Jakarta 1965-1985 dimulai. Rencana ini untuk mengembangkan konsep Jabotabek (Jakarta, Bogor, Tangerang, dan Bekasi) agar wilayah di sekitar Jakarta bisa tumbuh menjadi pusat pertumbuhan kota baru. Sejak saat itu, rencana integrasi transportasi, listrik, air, permukiman, dan fasilitas umum lainnya dikembangkan.
”Konsep ini berawal pemikiran Ali Sadikin yang khawatir Jakarta tidak mampu lagi menampung pertambahan jumlah penduduk. Karena jika dibiarkan, masalah Jakarta bisa bertambah, dari kekurangan lapangan kerja, kelangkaan rumah tinggal, kepadatan lalu lintas, dan fasilitas umum yang buruk,” kata Yayat.
Akhirnya, Instruksi Presiden Nomor 13 Tahun 1976 pun terbit. Kebijakan ini mengenai pengembangan wilayah Jabotabek. Pusat permukiman perkotaan di wilayah tersebut dibangun dengan tempat tinggal yang menarik sehingga masyarakat tertarik tinggal di sana.
Untuk mendukung konsep itu, pada 1977, tiga rute kereta rel listrik dan diesel pertama kali beroperasi, yakni Tanjung Priok-Karawang, Jakarta-Rangkas Bitung, dan Jakarta-Bogor. Upaya ini untuk merangsang pusat pertumbuhan baru di Botabek. Intinya, Jakarta bisa berkurang laju penduduknya. (Kompas, 27/8/1977)
Lambat laun upaya tersebut berbuah hasil. DKI Jakarta berhasil mengendalikan laju pertumbuhan penduduk dari 3,97 persen dalam periode 1971-1980 menjadi 2,41 persen dalam periode 1980-1990. Gubernur DKI Jakarta periode 1987-1992, Wiyogo Atmodarminto, mengatakan, hasil ini tidak lepas dari dukungan Jawa Barat (Botabek) sebagai penyangga arus urbanisasi. (Kompas, 22 Juni 1991)
Baca juga: Sesuaikan Rencana Induk Transportasi dengan Aturan Tata Ruang
Konsep berikutnya muncul dengan Rencana Umum Tata Ruang pada 1985-2005. Saat itu, Depok masuk dalam konsep pembangunan pusat pertumbuhan baru di sekitar Jakarta. Dilanjutkan lagi Rencana Tata Ruang Wilayah pada 2000-2010 dan kini dalam Rencana Tata Ruang Jakarta 2010-2030.
Yayat menilai, keputusan Ali Sadikin dalam mengeluarkan Rencana Induk Jakarta bertujuan agar penataan ruang dan wilayah di Jakarta lebih mudah dilakukan. Hal itu seperti ruang terbuka hijau bisa mencapai 40 persen, daerah Jakarta Selatan bisa menjadi tempat hunian dan resapan air, juga wilayah Jakarta Utara sebagai persawahan, daerah resapan air, dan rawa tempat menyimpan air sebagai pencegah banjir rob dari laut.
”Namun, kesalahan pemerintah setelah itu adalah menyerahkan pengembangan kota-kota penyangga Jakarta ke swasta. Pengembangannya pun jadi ’terserah’ pengembang. Sebagian berpikir untuk profit sehingga konsep mewujudkan kota mandiri di Botabek menjadi meleset,” katanya.
Belum lagi persoalan dasar tata ruang pemerintah yang hanya berdasarkan pada pola ruang saja, bukan pada struktur ruang. Pola ruang maksudnya hanya melihat pada bidang pembangunan, sementara struktur ruang merujuk pada keseluruhan pembangunan, seperti jaringan infrastruktur, layanan umum, dan pusat ekonomi masyarakat.
Gagalnya konsep pusat pertumbuhan baru atau juga disebut kota mandiri baru di Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi tampak dari pelaju yang terus membeludak. Sebagian dari mereka pulang-pergi menggunakan kendaraan pribadi dan sebagian lagi menggunakan angkutan massal. Berjam-jam mereka habiskan di jalan sehingga sedikit waktu itu bertemu dengan kerabat, apalagi tetangga.
Yayat sampai menyebut fenomena para pelaju ini dalam konsep P13, yakni pergi pagi pulang petang pantang panas pinggang pegal pala pusing pendapatan pas-pasan. Meski begitu, saat ini pemerintah dinilai sudah mulai bebenah.
Memang sangat terlambat, pembangunan struktur ruang dengan pengadaan jalur lingkar luar baru, kereta ringan (LRT), serta moda raya terpadu (MRT) saat ini. Namun, itu lebih baik daripada tidak dilakukan. Perlu dipastikan juga pembangunan ini terintegrasi dengan tata ruang.
Konsep Jabotabek yang dinilai telah melenceng memerlukan sikap dan komitmen pemerintah, baik Pemprov DKI Jakarta, Pemprov Jawa Barat, Pemprov Banten, dan pemerintah pusat untuk menyamakan pandangan. Kepadatan penduduk, polusi, dan kemacetan yang kini terjadi bisa terus berdampak di kemudian hari.
”Perencanaan kota untuk membenahi struktur ruang Jabodetabek menjadi sangat penting agar tidak ada dampak buruk yang berkelanjutan. Setidaknya, beban masyarakat tidak bertambah,” ujar Yayat.