Seluruh pejabat pembina kepegawaian diminta mengajukan kebutuhan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja atau PPPK di instansinya masing-masing kepada Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi dan Badan Kepegawaian Negara sebelum 7 Februari 2019. Jika tidak, tak akan ada perekrutan PPPK di instansi tersebut.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Seluruh pejabat pembina kepegawaian diminta mengajukan kebutuhan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja atau PPPK di instansinya masing-masing kepada Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi dan Badan Kepegawaian Negara sebelum 7 Februari 2019. Jika tidak, tak akan ada perekrutan PPPK di instansi tersebut.
Seperti diberitakan sebelumnya, pemerintah berencana membuka rekrutmen PPPK. Fase pertama rekrutmen akan diumumkan, 8 Februari 2019, dan dilanjutkan dengan pendaftaran, 10-16 Februari 2019. Rekrutmen PPPK ini untuk menyerap tenaga honorer penyuluh pertanian, guru, dan tenaga medis. Rencananya akan ada 75.000 formasi PPPK untuk fase pertama ini.
Adapun fase kedua, rencananya Mei 2019.
"Terhadap PPK (pejabat pembina kepegawaian) yang tidak menyampaikan usulan kebutuhan kepada Menpan RB dan Kepala BKN sebelum 7 Februari 2019, kami nyatakan tidak dapat melaksanakan pengadaan PPPK Tahap 1," kata Kepala Badan Kepegawaian Negara (BKN) Bima Haria Wibisana, di Jakarta, Rabu (6/2/2019).
PPK di kementerian/lembaga adalah menteri/kepala lembaga sedangkan di pemerintah daerah (pemda), PPK adalah kepala daerah.
Usulan dari PPK itu penting karena PPK yang paling mengetahui kebutuhan organisasinya, sehingga kalau ada rekrutmen PPPK, dia tahu berapa banyak PPPK yang dibutuhkan.
Selain itu, PPK yang mengetahui seberapa besar anggaran yang tersedia untuk membiayai PPPK. Pasalnya kelak, tidak semua gaji dan tunjangan PPPK diambil dari APBN. Hanya gaji dan tunjangan PPPK di instansi Pusat saja yang bersumber dari APBN. Sementara PPPK di instansi pemda, gaji dan tunjangannya dibebankan ke APBD. Ini seperti diatur di Peraturan Pemerintah Nomor 49 Tahun 2018 tentang Manajemen PPPK.
Tak hanya itu, usulan dari PPK perlu karena PPK yang mengetahui apakah anggarannya cukup atau tidak untuk menyelenggarakan tes PPPK. Sebab, untuk tes ini pun, anggarannya harus dari kementerian/lembaga dan pemda.
Dihubungi dari Jakarta, Sekretaris Jenderal Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia, Najmul Akhyar, menuturkan, mayoritas daerah merasa terbebani dengan skema penggajian PPPK yang dibebankan kepada APBD.
Menurut dia, tidak semua pemda memiliki APBD yang kuat.
"PAD daerah juga tidak sama. Ada PAD yang pas-pasan dan rendah sekali. Kita jangan berpikir semua daerah memiliki PAD yang besar karena sebagian besar PAD di seluruh Indonesia, persentase ketergantungan ke pusat itu, masih sangat tinggi," ujar Najmul yang juga menjabat sebagai Bupati Lombok Utara.
Oleh karena itu, dia berharap, pemerintah mempunyai konsep yang lebih matang lagi soal penggajian PPPK.
"Alangkah baiknya, gaji PPPK bisa melalui mekanisme dana alokasi umum (DAU) APBN seperti gaji PNS (pegawai negeri sipil)," katanya.
"Karena dasar undang-undang yang dipakai, kan, sama, UU ASN (Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara), ya sumber gaji PPPK ini seharusnya sama dengan sumber gaji dari PNS. Jadi (penggajian) dari pusat. Jangan nanti daerah akan merekrut sebanyak-banyaknya kemudian tidak punya kemampuan untuk menggaji karena tidak dikhususkan penggajiannya oleh pusat melalui APBN. Berat beban bagi daerah juga," ujar Najmul.