Berdasarkan hasil survei Populi Center yang dirilis, di Jakarta, Kamis (7/2/2019), Calon Presiden-Wakil Presiden nomor urut 01, Joko Widodo-Ma’ruf Amin, meraih elektabilitas 54,1 persen, sedangkan Calon Presiden-Wakil Presiden 02, Prabowo Subianto-Sandiaga Salahuddin Uno, 31 persen.
Oleh
A Ponco Anggoro
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Hasil survei Populi Center menunjukkan debat pertama di Pemilu Presiden 2019, 17 Januari lalu, tidak berpengaruh signifikan terhadap elektabilitas pasangan calon presiden-wakil presiden. Ini karena pemilih telah memiliki preferensi personal atau pilihan tetap pada salah satu kandidat.
Berdasarkan hasil survei Populi Center yang dirilis, di Jakarta, Kamis (7/2/2019), Calon Presiden-Wakil Presiden nomor urut 01, Joko Widodo-Ma’ruf Amin, meraih elektabilitas 54,1 persen, sedangkan Calon Presiden-Wakil Presiden 02, Prabowo Subianto-Sandiaga Salahuddin Uno, 31 persen. Sementara mereka yang memilih tidak tahu atau tidak menjawab, 14,9 persen.
Survei dilakukan pada 20-27 Januari 2019 dengan 1.486 responden dan memiliki margin of error 2,53 persen.
Elektabilitas tersebut tidak berbeda jauh dengan survei yang dilakukan oleh Populi Center sebelum debat pertama digelar, persisnya Desember 2018, yaitu Jokowi-Ma’ruf 52 persen dan Prabowo-Sandiaga 30,7 persen. Adapun yang memilih menjawab tidak tahu atau sama sekali tidak menjawab, 17,2 persen.
Profesor Riset LIPI Syamsuddin Haris menilai, sekalipun terjadi perubahan elektabilitas, perubahannya relatif kecil, sehingga bisa dianggap elektabilitas kedua capres/cawapres stagnan. Ini sekaligus menunjukkan debat pertama tidak berpengaruh signifikan pada elektabilitas mereka.
"Pemilih sudah atau telah menentukan pilihan personal dan sulit diubah. Kalaupun ada janji kampanye, orang tidak mudah percaya dan sudah telat," katanya.
Apalagi kecenderungan dari pemilih, tidak menjatuhkan pilihan berdasarkan program kerja ataupun agenda politik calon. Pemilih cenderung melihat personal dari calon. Ini bisa terjadi karena elit politik tidak mendidik atau mengarahkan pemilih untuk melihat program kerja yang diusung. Pendidikan politik justru menuntun pemilih melihat hal di luar program kerja.
Dia mencontohkan, elit politik yang lebih sibuk mencitrakan calon lebih tegas dari lawannya. Ada juga yang mencitrakan calon lebih kuat pemahaman dan pengamalannya akan agama.
"Masyarakat mudah terpolarisasi dengan pembentukan citra calon itu. Padahal menawarkan program kerja jauh lebih penting," katanya.
Personal calon
Hasil survei Populi Center memperkuat penilaian Haris. Dari hasil survei, sebanyak 46,4 persen memilih calon karena suka dengan figur atau sosoknya. Sementara yang memilih karena kompetensinya untuk menyelesaikan persoalan-persoalan ekonomi sebesar 15,9 persen.
Peneliti Populi Center Afrimadona menambahkan, karakter dari setiap calon di mata masyarakat juga sudah terbentuk. Sebagai contoh, sebanyak 77,4 persen menilai Jokowi merakyat sedangkan Prabowo 14,3 persen. Sebaliknya, 50,7 persen responden menilai Prabowo tegas, sedangkan Jokowi 40 persen.
"Karakter yang paling melekat pada KH Ma’ruf Amin adalah religius. Sebanyak 65,2 persen menyatakan itu, sedangkan Sandiaga 15 persen. Namun, Sandiaga terkenal karena karakter berpengalaman dalam memimpin, berprestasi, dapat diterima kaum perempuan, dan milenial," kata Afrimadona.
Menurut Direktur Eksekutif SMRC Djayadi Hanan, debat tidak berpengaruh signifikan pada elektabilitas calon karena debat tidak menarik. Salah satunya karena pertanyaan-pertanyaan dari panelis sudah diberikan sebelum debat. Selain itu, debat hanya mempertontonkan saling kritik antara kedua pasangan calon. Ditambah lagi penampilan calon yang biasa-biasa saja.
"Untuk sementara belum ada pengaruh dalam kompetisi sesungguhnya. Saran saya, debat selanjutnya, calon harus lebih menampilkan gagasan dan programnya," ucapnya. (FRANSISKUS WISNU WARDHANA DHANY)