SLEMAN, KOMPAS—Guru harus dijauhkan dari pandangan maupun opini intoleran yang mampu mengancam keberagaman. Perannya sebagai pendidik generasi penerus dinilai penting guna menjaga keutuhan dan persatuan bangsa.
“Indonesia adalah bangsa yang majemuk. Sedari awal sudah plural baik secara etnis, agama, dan lain sebagainya. Untuk menjaga pluralitas ini, kita harus punya rasa toleran yang tinggi,” kata Jamhari Makruf, Dewan Penasehat Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, di Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, Kamis (7/2/2019).
Namun, Jamhari mengungkapkan, saat ini, terdapat kecenderungan bahwa pelajar atau siswa sekolah mudah terpapar oleh pemikiran intoleran. Menurut pengamatannya, guru dinilai memiliki peran signifikan dalam mempengaruhi siswa untuk bersikap intoleran. Sebab, mereka merupakan penuntun laku dan suri teladan bagi para siswanya.
Menurut survei nasional PPIM 2018, secara nasional, sebesar 56,9 persen guru memiliki opini intoleran. Survei itu dilakukan terhadap 2.237 guru muslim yang tersebar di 34 provinsi. Adapun waktu pelaksanaannya mulai dari 6 Agustus-6 September 2018. Setelah itu, survei diperdalam lagi dengan penelitian secara kualitatif yang dilaksanakan pada 6 Desember 2018-6 Januari 2019.
Yogyakarta termasuk salah satu daerah yang menjadi lokasi survei. Temuan tentang paham intoleran yang dimiliki oleh guru juga didapati di daerah itu. Ada sekitar 30 guru yang dipilih secara acak menjadi responden dalam survei tersebut.
Dari jumlah itu, tercatat sebesar 59,38 persen guru memiliki pandangan intoleran. Lalu, guru yang memiliki pandangan toleran hanya sebesar 34,38 persen, sedangkan, yang sangat toleran hanya 6,25 persen.
Koordinator Survei Nasional PPIM 2018 Yunita Faela Nisa menjelaskan, pandangan intoleran yang terdapat dalam benak para guru itu terjadi karena kurangnya pemahaman agama yang mendalam. Mereka seolah membatasi pergaulan muridnya dengan murid beragama lain karena khawatir muridnya tidak menjalankan ajaran agama secara baik.
Rekomendasinya, memperbanyak perjumpaan dengan umat beragama lainnya
“Opini intoleran terbangun karena kekhawatiran guru akan akidah bagi para siswanya. Intensinya dalam memilih-milih teman menjadi tampak. Misalnya, boleh bergaul (dengan yang berbeda agama), tetapi jangan terlalu dekat,” kata Yunita.
Zainal Arifin Ahmad, Koordinator Survei Nasional PPIM 2018 Wilayah Yogyakarta, menyatakan hal serupa. Pada dasarnya, tidak ada pemikiran moral yang jahat. Tetapi, pemahaman agama yang kurang mendalam membuat mereka kurang bisa nyaman membangun toleransi antarumat beragama.
“Ada miskonsepsi tentang agama sehingga salah satu rekomendasinya adalah perlunya peningkatan pemahaman agama. Rekomendasi lainnya adalah memperbanyak perjumpaan dengan umat beragama lainnya,” kata Zainal.
Pelaksana Tugas Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama DIY Edhi Gunawan menyatakan, pihaknya terkejut dengan hasil survei tersebut. Yogyakarta yang selama ini dikenal sebagai kota yang tinggi toleransi, tetapi nyatanya ada guru yang memiliki pemikiran intoleran. Sistem pembelajaran perlu dievaluasi kembali agar mengedepankan prinsip moderasi agama sehingga mampu mencegah persebaran paham intoleran.
“Moderasi agama harus dilakukan. Guru-guru tidak hanya dibekali tentang bagaimana cara mengajar, tetapi juga wawasan multikultural, dan wawasan kebangsaan, semenjak masih menempuh pendidikan di perguruan tinggi,” kata Edhi.
Sementara itu, Kepala Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi Wilayah V Yogyakarta Bambang Supriadi mengatakan, perguruan tinggi harus benar-benar menyiapkan para pendidik yang tidak memiliki pandangan intoleransi. Para calon guru harus dikuatkan dengan pemahaman tentang Pancasila. Itu agar mereka mengamalkan tujuan dari ideologi tersebut untuk bersatu dalam keberagaman.