Mendikbud: Akses Transportasi dan Informasi Penunjang Pendidikan Indonesia Timpang
Oleh
Megandika Wicaksono
·3 menit baca
PURWOKERTO, KOMPAS — Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy mendorong generasi milenial untuk membekali diri dengan keterampilan untuk menghadapi Revolusi Industri 4.0. Ketimpangan akses informasi, teknologi, dan sarana pendidikan masih menjadi tantangan di Indonesia.
”Masalahnya adalah untuk negara Indonesia ini begitu lebar wilayahnya sehingga tidak mungkin kita secara serempak mengadopsi perkembangan Revolusi Industri 4.0. Ketimpangan atau disparitas pendidikan di Indonesia sangat luas,” kata Muhadjir saat memberikan kuliah umum bertema ”Masa Depan Pendidikan Indonesia di Era Revolusi Industri 4.0” di Universitas Muhammadiyah Purwokerto (UMP), Sabtu (9/2/2019).
Muhadjir menyebutkan, untuk pembangunan gedung sekolah di Jawa, misalnya, perlu dana sekitar Rp 2 miliar. Namun, untuk membangun bangunan yang sama di Papua, misalnya, perlu dana hingga Rp 6 miliar karena material diangkut pakai pesawat.
”Salah satu faktor yang membikin ketimpangan itu membesar adalah akses. Baik akses dalam arti transportasi maupun akses informasi. Di Indonesia, belum semuanya terpapar internet. Masih dibutuhkan investasi kira-kira Rp 40 triliun untuk bisa membikin Indonesia di-cover oleh jaringan internet,” tutur Muhadjir.
Ia menyebutkan, pada 2019, pemerintah akan lebih fokus pada pembangunan sumber daya manusia. Hal itu antara lain dilakukan dengan menyiapkan kurikulum pendidikan menengah kejuruan sesuai dengan kebutuhan industri.
”Dulu, kurikulum dibangun sepihak dari pemerintah. Ketika lulus, kita tidak tahu apakah cocok dengan lapangan kerja. Sekarang, disusun berdasarkan sisi permintaan. Dunia industri, dunia usaha diundang untuk menyusun kurikulum,” paparnya.
Pada kuliah umum itu juga diberikan penghargaan bagi para juara lomba karya tulis ilmiah SMA/SMK/sederajat yang digelar Himpunan Mahasiswa Teknik Kimia UMP. Aji Sukma (16), Taufiq Maulana (16), dan Naufal Izzul K (16), siswa kelas XI IPA SMA N 3 Demak—yang menang sebagai juara ke-3 dalam ajang lomba itu serta mengikuti kuliah umum—menyampaikan, mereka lebih senang metode pelajaran yang dipadukan antara teori dan praktik.
”Saat ini lebih banyak teori di kelas daripada praktik. Inginnya pembelajaran sambil praktik. Pembelajaran saja belum cukup. Teori tanpa praktik itu sia-sia,” ujar Naufal.
Dulu, kurikulum dibangun sepihak dari pemerintah. Ketika lulus, kita tidak tahu apakah cocok dengan lapangan kerja. Sekarang, disusun berdasarkan sisi permintaan.
Pemberian bantuan
Setelah memberikan kuliah umum di UMP, Muhadjir bersama Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Puan Maharani membagikan sejumlah bantuan kepada warga Banyumas di Pendopo Sipanji, Purwokerto.
Sekitar 2.300 orang menerima bantuan sosial penerima Program Keluarga Harapan (PKH), Kartu Indonesia Pintar (KIP), dan Kartu Indonesia Sehat (KIS).
Mereka juga menerima bantuan sarana dan prasarana pendidikan, pembangunan layanan haji terpadu satu pintu, sertifikat bimbingan perkawinan, pemberian akta kelahiran dan kartu identitas anak, pemberian makanan tambahan ibu hamil dan balita kurus, serta bantuan benih.
”Uang bantuan PKH ini tidak akan kami berikan terus-menerus kalau tidak dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya. Pergunakan uang tersebut juga untuk bisa membuat bapak ibu mandiri, menambah keuangan di keluarga masing-masing,” ucap Puan.
Dalam dialog dengan warga penerima bantuan, didorong agar bantuan tersebut tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, tetapi juga dimanfaatkan untuk kegiatan usaha. Kepada siswa penerima KIP, Puan berpesan agar tetap rajin belajar, terus bersemangat meraih cita-cita.
Bupati Banyumas Achmad Husein menyampaikan, sejumlah bantuan tersebut cukup mendorong perbaikan kualitas hidup masyarakat. Meski kini sudah turun 4,94 persen dibanding tahun 2013, angka kemiskinan di Banyumas masih relatif tinggi pada 2018, yaitu 13,5 persen.
”Program-program dari pusat juga kami sempurnakan, kami tambahkan di Banyumas. Ada KIS, di sini ada Kartu Banyumas Sehat yang jumlahnya kira-kira 110.000 orang yang menerima. Anggaran Rp 50 miliar per tahun,” tuturnya. Selain itu, ada juga 22.000 kartu penderes nira sebagai bahan baku gula merah.