Berbagai tekanan dan tuntutan hidup di Ibu Kota membuat warganya mudah mengalami depresi, rasa cemas, dan perilaku agresif. Faktanya, 5,7 persen dari jumlah penduduk DKI mengalami masalah kesehatan jiwa. Kesadaran masyarakat agar bisa mengelola stres dengan baik menjadi sangat penting. Adanya stigma saat seseorang berkonsultasi terkait kejiwaan pun harus dihapuskan.
Patricia Dianita (24) menyadari beratnya tekanan di Ibu Kota. Sejak bangun pagi sampai tidur, ia merasa beban dan tuntutan hidup seakan tidak pernah berhenti. Pukul 04.30, ia sudah harus berangkat dari rumahnya di kawasan Tigaraksa, Tangerang, agar bisa sampai tepat waktu di kantornya yang berada di Jakarta Barat. Sebelum berangkat, ia terkadang harus mempersiapkan diri untuk melewati kemacetan jalanan menuju Ibu Kota. Belum lagi berbagai tugas di kantor yang harus diselesaikan.
”Mau pulang kantor pun stres untuk menunggu bus yang lama dan pasti sesak. Saya sampai enggak punya malu kalau rebutan naik bus. Kalau enggak rebutan, saya enggak akan dapat (bangku). Kadang, ya, egois juga kalau ada ibu hamil atau orang tua. Yang penting saya bisa duduk dan tidur di bus,” ujarnya.
Masalah yang dialami oleh Patricia ini barangkali juga dialami oleh sebagian besar warga di kota besar, terutama yang tinggal ataupun bekerja di Jakarta. Kemacetan di jalan, persaingan dan tuntutan di tempat kerja, pola hidup yang buruk, serta adanya trauma psikis dari lingkungan membuat warga Jakarta rentan mengalami depresi dan gangguan jiwa.
Beban pikiran yang dihadapi melebihi kapasitas yang dimiliki seseorang. Akibatnya, masalah sosial dan ekonomi, bahkan kriminal, banyak ditemui di masyarakat. ”Istilahnya, senggol bacok. Jadi, orang yang sudah overload ini mudah terpicu emosinya karena kontrol dirinya sudah tidak berfungsi dengan baik,” ujar anggota staf Departemen Kesehatan Jiwa Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo/Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Agung Kusumawardhani.
Biasanya seseorang yang mulai depresi menjadi mudah emosi, merasa tidak bahagia, tidak peduli terhadap lingkungan, serta sering mengalami halusinasi dan mudah menyakiti diri sendiri ataupun orang lain. Hal ini pula yang mungkin terjadi pada kasus pemuda yang merusak sepeda motornya ketika ditilang polisi di kawasan Bumi Serpong Damai, Tangerang Selatan, Kamis (7/2/2019).
Pemuda ini tidak terima ketika seorang polisi menilangnya karena tidak memakai helm dan tidak membawa dokumen kelengkapan berkendara. Ia justru merusak motornya dan tidak mengindahkan lingkungan sekitarnya.
Psikolog sosial dari Universitas Indonesia, Ratna Juwita, menilai, perilaku yang dilakukan oleh pemuda ini sebenarnya masalah spesifik yang butuh kajian khusus dari profesional. Namun, kecenderungan tingkat toleransi dan kesabaran warga di kota memang sedikit memudar karena tekanan yang dihadapi.
Contoh kecil lain adalah banyaknya pelanggaran lalu lintas dengan melawan arus, menerobos busway, ataupun menerobos lampu merah. Pilihan ini bisa karena pengendara terdesak keterbatasan waktu di tengah kemacetan yang sudah dilaluinya selama berjam-jam. Mereka mungkin sadar bahwa tindakannya salah, tetapi mereka lebih memilih melakukan hal itu daripada harus mendapatkan tekanan di tempat kerjanya nanti.
Istilahnya, senggol bacok. Jadi, orang yang sudah overload ini mudah terpicu emosinya karena kontrol dirinya sudah tidak berfungsi dengan baik.
Untuk itulah, peran pemerintah dalam menekan masalah kesehatan jiwa warganya sangat dibutuhkan. Intervensi dari pemerintah ini bisa dilakukan melalui kebijakan untuk memberikan jam kerja yang sesuai, memfasilitasi konsultasi psikis bagi warganya, serta menyuguhkan ruang terbuka untuk melepas penat di tengah Ibu Kota.
Ratna berpendapat, layanan konseling gratis lewat telepon atau secara daring yang sempat ditawarkan pemerintah untuk menyelesaikan masalah psikis masyarakat sebenarnya sangat baik. Sayangnya, layanan ini belum optimal dimanfaatkan oleh masyarakat.
”Depresi ringan sebenarnya bisa diselesaikan dengan sekadar bercerita atau curhat (curahan hati). Masalahnya, individualisme warga di kota cukup tinggi sehingga sedikit orang yang mau memberikan waktu untuk rekannya. Konsultasi dari pemerintah seharusnya bisa menjadi solusi,” tuturnya.
Depresi ringan sebenarnya bisa diselesaikan dengan sekadar bercerita atau curhat.
Kepala Seksi Penyakit Tidak Menular Dinas Kesehatan DKI Jakarta Wisnu Eko Prasetyo menyatakan, pemerintah terus berupaya membantu masyarakat agar bisa mengelola stresnya dengan baik. Upaya pencegahan depresi di masyarakat juga terus diupayakan.
Secara khusus upaya terkait pencegahan dan pengendalian masalah kesehatan jiwa meliputi upaya promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif. Sasaran yang dituju adalah orang yang sehat supaya jiwanya tetap sehat, orang dengan masalah kesehatan mental supaya tidak menjadi gangguan jiwa, serta orang yang menderita gangguan jiwa agar terkontrol dan dapat pulih kembali.
”Kami telah menyediakan pelayanan kesehatan jiwa di semua puskesmas kecamatan di DKI agar mampu mendiagnosis dan memberikan pengobatan yang tepat. Layanan psikolog klinis pun disediakan di 17 puskesmas, serta pemberian terapi okupasi di beberapa puskesmas di DKI bagi pasien gangguan jiwa berat yang telah pulih,” ujarnya.
Ia menambahkan, pemerintah DKI pun telah merilis aplikasi E-Jiwa yang berfungsi untuk memeriksakan diri dan mengetahui secara cepat masalah kesehatan mental yang dialami seseorang. ”Harapannya bisa langsung berobat ataupun konsultasi dengan ahlinya jika hasil pemindaian dari aplikasi menyatakan seseorang itu telah mengalami masalah kesehatan jiwa,” katanya.
Hidup di Ibu Kota memang tidak mudah bagi sebagian orang. Banyak orang mengatakan, Jakarta itu keras sehingga orang-orang di dalamnya pun terbentuk menjadi pribadi yang keras. Padahal, jiwa yang keras ini memicu risiko gangguan jiwa yang berat bagi seseorang.
Sudah saatnya pemerintah lebih sadar akan kesehatan jiwa warganya. Menciptakan fasilitas publik sebagai tempat menghilangkan kepenatan bisa menjadi bekal untuk mengembalikan kewarasan warganya. Masyarakat pun diharapkan lebih peduli akan diri sendiri, terlebih untuk menenangkan jiwanya di tengah kegaduhan Ibu Kota.